Rapor Merah Partai Politik
Jumat, 6 Maret 2009 | 03:46 WIB
Oleh Maria Hartiningsih
Rapor partai politik untuk isu-isu yang terkait dengan tenaga kerja, lingkungan hidup, dan kesejahteraan ibu dan anak merah. Selama lima tahun terakhir justru muncul banyak kebijakan yang berpunggungan dengan semangat perlindungan hak-hak rakyat yang paling asasi terkait dengan isu-isu itu.
”Dalam soal perlindungan buruh migran Indonesia, rapor partai-partai politik lima tahun terakhir ini merah semua,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam Dialog Publik yang diselenggarakan Migrant Care di Jakarta pekan lalu untuk menyoal agenda parpol tentang perlindungan terhadap buruh migran Indonesia.
Analis Kebijakan Perburuhan Wahyu Susilo merinci, dalam Pemilu 2004, sembilan anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan luar negeri terpilih karena suara buruh migran Indonesia (BMI).
”Ironisnya, tak satu pun dari mereka masuk ke komisi yang mengurusi masalah itu. Kalaupun masuk ke komisi lain, misalnya terkait dengan urusan luar negeri, mereka tidak mengartikulasikan diplomasi untuk perlindungan BMI,” ujar Wahyu.
Tak memadai
Selama periode tahun 2004-2009, menurut Anis, tak ada respons memadai dari para anggota Dewan terhormat terhadap kasus Nirmala Bonat, Daman Sara Damai (2004), Adi bin Asnawi, dan sederetan kasus ancaman hukuman mati, penyiksaan pekerja rumah tangga di Arab Saudi (2008), kasus trafficking di Irak (2008), Umi Saodah yang terjebak di Jalur Gaza (2009), eskalasi kasus-kasus kekerasan, trafficking, deportasi, dan ancaman pemutusan hubungan kerja massal akibat krisis global.
”Malah Yanti Iriyanti dari Cianjur yang dihukum mati di Arab saudi Februari tahun 2008 tak ada informasinya,” kata Anis, yang berbicara dalam panel bersama caleg dari PDI-P, PKB, PKS, dan Partai Demokrat, ”Ironisnya, ada instruksi presiden untuk membawa pulang jenazah, tetapi tidak dilakukan.”
Dalam dialog publik itu juga terkesan kuatnya notion ”demi partai”, bukan demi rakyat, tanpa kotak-kotak yang diciptakan untuk kepentingan politik golongan. Semua ini memperlihatkan kegagalan pendidikan politik dan masih dibutuhkan waktu untuk mencapai kematangan berpolitik.
”Dengan politik dagang sapi antara parpol, isu-isu yang terkait dengan buruh migran Indonesia hanya akan menjadi komoditas politik dan komoditas ekonomi,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Riwanto Tirtosudarmo, menggarisbawahi serangkaian produk legislasi terkait dengan BMI yang justru tidak memberi perlindungan hak-hak BMI.
Pandangan buruh migran sebagai komoditas terlihat dalam kebijakan pemerintah menaikkan target pengiriman buruh migran dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, kegiatan itu tampaknya tidak dianggap sebagai tindakan sementara sebelum pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
”Tahun lalu devisa sektor ini mencapai sekitar Rp 8,4 miliar dollar AS atau lebih Rp 100 triliun dari BMI yang sekitar 73 persennya perempuan,” ujar Anis dan Wahyu.
Juga merah
Di bidang lingkungan dan kesejahteraan rakyat, rapor parpol lima tahun terakhir ini juga sama saja. ”Pemerintahan SBY-JK, termasuk para anggota legislatif, lima tahun terakhir ini tak menunjukkan prestasi apa pun di bidang lingkungan,” kata aktivis lingkungan, Chalid Muhamad.
”Sebaliknya, DPR dan pemerintah malah menghasilkan produk legislasi yang memicu percepatan kerusakan lingkungan, seperti UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batu Bara, dan UU Perkebunan,” katanya.
Perubahan iklim hanya gegap gempita dibicarakan akhir tahun 2007. Setelah itu, menurut Chalid, tak ada kebijakan konkret untuk merespons masalah perubahan iklim. ”Malah lalu keluar peraturan antagonis, yaitu PP No 2 Tahun 2008, yang membolehkan hutan kita disewa Rp 300 per meter persegi untuk kegiatan apa saja.”
Selama lima tahun terakhir, ditengarai bencana ekologis terkait dengan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi. Seperti dikatakan Chalid, ”Lumpur Lapindo di Sidoarjo tak direspons secara maksimal oleh negara.”
Dalam Pemilu 2009 ini tak ada parpol yang secara eksplisit memperlihatkan kepeduliannya terhadap masalah lingkungan hidup. Ia melihat, dalam struktur dewan pimpinan pusat, ada empat atau lima parpol punya departemen lingkungan, tetapi platform-nya tak jelas.
Oleh karena itu, rakyat perlu berjuang lebih keras menyadarkan parpol betapa pentingnya masalah ini. ”Soal lingkungan hidup ini menyangkut soal keberlanjutan negara. Dimensinya sangat luas,” kata Chalid.
Pemahaman terbatas
Barangkali karena pemahaman politik yang terbatas, banyak politisi mengartikan politik sebagai kekuasaan untuk menguasai. Banyak dari mereka tak paham perspektif jender dan hanya segelintir anggota legislatif yang berjuang keras memasukkan perspektif itu dalam berbagai isu.
Hal ini terkait dengan pendapat Tini Hadad dari Koalisi Indonesia Sehat, yang menyatakan, tak ada parpol peduli soal angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta gizi bayi dan anak balita.
”Pemerintah bilang, AKI turun dari 307 menjadi 248 per 100.000 kelahiran hidup. Saya tidak tahu bagaimana menghitungnya karena nyatanya kondisi rakyat Indonesia tidak bertambah baik,” ujar Tini. AKI di Indonesia tertinggi di Asia dan faktor penting penyumbang rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.
Pakar perubahan perilaku, Dr Sri Kusyuniati, mengatakan, ”Tak ada parpol berani memaparkan strategi mengurangi AKI karena sulit, harus komprehensif, tak hanya soal teknis, dan terutama menyangkut pendekatan sosio-kultural.”
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03464680/rapor.merah.partai.politik
Senin, 16 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar