Selasa, 31 Maret 2009

Panwas Luar Negeri Belum Dilantik

SUARA PEMBARUAN DAILY

Last modified: 31/3/09

[JAKARTA] Pengawasan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 di luar negeri rawan pelanggaran, karena berlangsung tanpa pengawasan. Hingga kini, Panitia Pengawas Luar Negeri (Panwas LN) belum mendapat surat keputusan (SK) pengangkatan dan belum dilantik.

"Kami baru menerima nama-nama Panwas LN yang lolos seleksi pekan lalu. Segera akan kami buat SK (Surat Keputusan, Red) pengangkatan mereka. Setelah itu, dilakukan pelantikan," kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo kepada SP di Jakarta, Senin (30/3).

Menurutnya, Departemen Luar Negeri (Deplu) melalui duta besar (dubes) dan konsul jenderal (konjen) telah selesai menyeleksi Panwas LN untuk Pemilu 2009. Ada 72 Panwas LN yang lolos seleksi dan dilaporkan ke Bawaslu untuk dibuat SK pengangkatannya.

Panwas luar negeri tersebut akan bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2009 di 24 kota besar di beberapa negara di kawasan Asia, Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan Australia. Pembentukan Panwas LN di 24 kota besar itu dipertimbangkan dari jumlah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, yang jumlahnya lebih 5.000 orang.

"Ada tiga Panwas LN untuk setiap kota, jadi totalnya 72 orang. Kami menargetkan SK-nya akan selesai dalam minggu ini, sehingga mereka dapat segera dilantik," ujar Bambang.

Seperti diberitakan sebelumnya, 24 kota besar yang membutuhkan Panwas LN terdapat di 10 Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), 13 Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), dan satu kantor dagang di Hong Kong.

Kendala

Bambang menjelaskan, Bawaslu dapat saja mendelegasikan pelantikan Panwas LN ke dubes dan konjen di 24 kota itu, mengingat waktu pelaksanaan Pemilu 2009 semakin dekat. Namun, Bawaslu menghadapi kendala, karena pembekalan bagi para Panwas LN harus dilakukan secara langsung terkait dengan perubahan sistem Pemilu 2009.

Selain itu, Panwas LN harus dibekali secara khusus untuk mengawasi kelengkapan logistik pemilu, daftar pemilih tetap (DPT), dan pelaksanaan pemungutan suara hingga penghitungan suara.

"Pembekalan khusus ini yang kita kejar, karena hari pelaksanaan Pemilu 2009 semakin dekat. Ini yang mengkhawatirkan, sebab tanpa pengawasan penyelenggaraan pemilu di LN rawan pelanggaran," ujar Bambang.

Dia mengakui, dengan terlambatnya pelantikan Panwas LN, ada sejumlah tahapan pemilu yang lolos dari pengawasan, seperti DPT dan logistik pemilu, terutama surat suara. "Pengecekan DPT dan surat suara yang lolos dari pengawasan, dapat memengaruhi proses pemungutan suara.

Makanya, kami berharap, Panwas LN akan memfokuskan pengawasan saat proses pemungutan dan penghitungan suara," ujarnya. [J-9]

Pernyataan Sikap IMWU: PEMILU 2009 adalah Ilusi bagi Buruh Migran Indonesia!

Hentikan underpayment!
Blacklist agen/PJTKI yang melanggar hukum!
Pangkas biaya penempatan menjadi HK$ 9000!
Cabut UU PPTKILN!
Ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990!
Bubarkan terminal khusus TKI/GPK TKI!


Mulai dari rejim orde baru hingga rejim penjual kaum perempuan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, tidak ada perubahan yang sejati dalam kehidupan rakyat Indonesia. Terlebih dalam kehidupan buruh migran Indonesia (BMI) dan keluarganya. Nyatanya proses pemilihan umum yang dilaksanakan setiap 5 tahunan tidak dapat menaikan tingkat penghidupan BMI dan keluarganya, jika tidak boleh dikatakan tidak menghasilkan apa-apa selain pergantian penguasa.

Bagi kami, Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), buruh migran Indonesia di Hong Kong, pemilu 2009 merupakan pergantian antek-antek dari kaum pengusaha, yang selama ini menghisap nilai kerja kami. Tidak hanya di rejim SBY-JK, namun di rejim-rejim sebelumnya, hak-hak BMI dan keluarganya tetap tidak menjadi prioritas bagi pemerintah. Satunya-satunya yang berubah adalah tingkat penghisapan, dimana setiap berganti rejim penghisapan semakin dalam. Menurut survey yang kami lakukan di Hong Kong, pada zaman orde baru tidak kurang dari 90% BMI menerima upah di bawah standar atau underpaid, bahkan penghisapan atas kerja kami selama 7 bulan upah kami dipotong (HK$ 21.000) sebagai biaya agen, ditambah biaya perpanjangan kontrak sebesar HK$ 5.500 (sesuai SK Dirjen Binapenta pada tahun 1998). Dan, tidak terlewatkan, pembangunan terminal 3 yang merupakan sarang pemerasan bagi BMI. Pada zaman Gus dur dan Megawati, seluruh penghisapan terhadap BMI semakin dikokohkan, dengan dibuatnya UU no 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Melalui UU, PJTKI diberi kewenangan yang demikian besar dalam perihal penempatan BMI, bahkan praktek kebal hukum bagi PTJKI pun di akui dalam UU ini. Lebih jauh lagi komiten untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990 pun ditanggal kan demi kemulusan praktek penjualan manusia ini. Pada rejim SBY-JK, praktek penghisapan semakin di perhebat. Kebijakan ekspor buruh semakin digalakan, ditargetkan bahwa setiap tahunnya pemerintah harus mengirimkan 1 juta orang pertahun ke luar negeri, guna mencapai target devisa sebesar 125 triliyun per tahunnya. Guna memuluskan hal demikian UU PPTKILN pun dirubah untuk mempermudah pendirian Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Artinya mulai tahun ini diprediksi ada 1-2 juta rumah tangga akan terancam keutuhannya, akibat ketiadaan sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan didaerahnya.

Di Hong Kong, 120.000 lebih perempuan Indonesia bekerja layaknya romusa, kalau tidak dapat dikatakan sebagai perbudakan. Kebanyakan dari kami bekerja sebagai pekerja rumah tangga bagi kelas menengah dan atas. Kami bekerja lebih dari 16 jam per hari hanya 1 % dari kami yang bekerja selama 8 jam per hari, 64 % dari kami tidak mendapatkan hari libur nasional, baik Hong Kong maupun Indonesia, bahkan 56 % persen dari kami tidak diberikan libur 1 minggu satu kali, 38 % dari kami dibayar dibawah upah minimum (upah minimum HK$ 3580), dan 61 % dari kami upahnya dipotong upahnya sebesar HK$ 3000 selama tujuh bulan, sebagai biaya agen, sementara biaya agen menurut employment ordinance Hong Kong hanya dijinkan sebesar 10 persen dari satu bulan upah kerja. Fakta inilah yang senantiasa terlewatkan dalam setiap perhelatan nasional bernama Pemilihan Umum (PEMILU)

Berdasarkan hal ini, kami, buruh migran Indonesia yang berhimpun dalam Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) menyatakan:

Tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum 2009, karena pemilu 2009 bukanlah pemilu yang berpihak pada buruh migran Indonesia dan rakyat.

Menuntut kepada pemerintahan SBY-JK untuk:
1. Menghentikan underpayment;
2. Memangkas biaya agen/penempatan ke Hong Kong menjadi HK$ 9000;
3. Blacklist agen/PJTKI dan majikan yang melanggar hukum dan hak BMI;
4. Mencabut UU PPTKILN dan menggantinya dengan UU perlindungan BMI dan keluarganya;
5. Segera ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya;
6. Bubarkan Terminal Khusus BMI (GPK TKI);
7. Libatkan BMI dalam setiap pembuatan kebijakan mengenai BMI
8. Pelayanan maksimal bagi BMI di Hong Kong pada hari Sabtu dan Minggu

Menyerukan kepada organisasi BMI dan massa BMI di setiap negara penempatan:

1. Tidak menggunakan hak pilihnya pada PEMILU 2009, karena pemilu 2009 bukan untuk kepentingan buruh migran Indonesia dan rakyat;
2. Semakin memperhebat aksi-aksi untuk menuntut hak-hak dasar buruh migran Indonesia;
3. Menyatukan perjuangan BMI di setiap negara penerima dengan gerakan perjuangan rakyat di dalam negeri guna memperjuangkan perubahan yang sejati.

Hong Kong, 28 Maret 2009
Komite Eksekutif IMWU



Sringatin
Ketua

Senin, 30 Maret 2009

Sosialisasi Pemilu bagi TKI Terkendala

SUARA PEMBARUAN DAILY

[JAKARTA] Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mengalami kendala dalam sosialisasi Pemilu 2009 bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Akibatnya, dari 6 juta TKI, baru 1,4 juta orang yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
"Kendala utama adalah jarak, sebab tempat mereka bekerja kebanyakan jauh, misalnya di perkebunan-perkebunan, akhirnya mereka tidak bisa dipaksa karena itu hak asasinya," kata Kepala Pusat Humas Depnakertrans, Sumardoko, mengutip Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans), Erman Suparno, kepada SP di Jakarta, Minggu (29/3).

Selain itu, kata Sumardoko, pemahaman masyarakat yang ada di perkebunan terhadap politik masih minim, tetapi yang kerja di perkotaan tak ada masalah. Walaupun demikian, katanya, sosialisasi telah dilakukan oleh para konjen (konsulat jenderal) dan para atase.

"Mudah-mudahan dengan kegiatan sosialisasi, pengumuman dan fasilitas yang ada, dapat bertambah (jumlah DPT, Red). Tetapi, memang betul jumlahnya seperti itu, sesuai dengan daf-tar pemilih tetap," kata Sumardoko.

Menurut Sumardoko, Depnakertrans telah bekerja sama dengan para pejabat negara tempat para TKI bekerja, untuk memfasilitasi dan mengamankan para TKI yang hendak menggunakan hak politiknya melalui pemilu.

Sumardoko mengatakan, Mennakertrans telah menemui sejumlah pejabat negara Malaysia, antara lain Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sumber Daya Manusia. Ia mengatakan, Depnakertrans juga telah melakukan rapat koordinasi dengan para Duta Besar Republik Indonesia di luar negeri termasuk para atasenya.

Erman mengatakan, pihaknya tak dapat menargetkan jumlah TKI yang ikut pemilu, sebab hal itu menyangkut hak asasi. "Yang penting pemerintah sudah menjalankan fungsinya untuk sosialisasikan pemilu," katanya. [E-8]
Last modified: 30/3/09

Jawaban-jawaban Caleg dari blog apakatacalegln.wordpress.com

Jawaban Dari Caleg PDIP - Helmy Hidayat

March 25, 2009 by wnitki
facebook: http://www.facebook.com/profile.php?id=762577598
Mas, terima kasih sudah berkirim email ke saya. Ingin sekali saya menjawab satu per satu pertanyaan anda, tapi waktu saya kali ini mepet. Email balasan ini untuk menunjukkan i’tikad baik saya membalas email anda. Nanti kita sambung ya ….
Warm regards,
Helmi Hidayat
Tags: Posted in jawaban caleg No Comments »
Jawaban Dari Caleg PAN - Syaibatul Hamdi MalikMarch 24, 2009 by wnitki
Caleg Syaibatul dapat ditemui di sini:
http://www.facebook.com/profile.php?id=1622295626
Berikut jawabannya:
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari negara. dimanapun dia berada.termasuk anda dan teman2 yg berada diluar negeri.Kami dari Partai Amanat Nasiona sangat peduli dan prihatin dg permasalan yg di alami teman2 TKI. Bila saya jadi anggota DPR RI dan PAN menjadi partai penguasa, prioritas utama memperjuangkan hak2 para pekerja serta memberikan perlindungan penuh dan juga memberikan kenyamanan kepada TKI baik itu selama di LN hingga tiba di tanah air.

yang mana dicounter:
terima kasih pak hamdi. Tapi langkah kongkret dari bapak yang sudah bapak rencanakan apa pak? karena semua caleg juga bisa berjanji seperti ini.

dan dibalas:
saya belum bisa melangkah lebih jauh krn saya belum menjadi anggota dewan. dengan dukungan dari sdrku Adhitya dan teman2 dan nantinya saya jadi,bisa jadi lebih kongkrit lagi.tapi temen2 saya yg di fraksi PAN DPR RI sudah melakukannya. Prinsipnya saya senang kenalan dg anda salam buat saudara2 kita disana.
Tags: Posted in jawaban caleg No Comments »
Jawaban Dari Caleg PDIP - Rezy AzizMarch 24, 2009 by wnitki
Rezy Aziz dapat ditemui di sini:
http://www.facebook.com/profile.php?id=1158871569
Berikut jawabannya:
————————–
Terus terang, Sering saya bertanya kepada diri sendiri: sebenarnya mengerti nggak sih kita semua akan arti berbangsa-bernegara? Sebab, banyak hal krusial yang kita—sebenarnya—tahu bagaimana mengatasinya, namun tak juga mampu kita bereskan.
Kita tahu, tujuan bernegara—salah satunya yang paling mendasar—adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Semua warga negara memperoleh hak yang sama sesuai porsinya.
Namun rupanya jalan menuju ke sana begitu berliku. Bahkan banyak liku-liku “baru” yang kita buat sendiri, hingga perjalanan menjadi lebih panjang.
Salah satu persoalan krusial adalah mengenai bangsa Indonesia yang bekerja di luar negeri (Tenaga Kerja Indonesia/TKI), yang menurut data Anda, sebagian besar—mencapai 90%-95%—adalah pekerja “kerah biru” + pembantu. Bagi saya ini merupakan kritik pedas bagi penyelenggara negara. Sebab, kebanyakan dari mereka berangkat merantau semata-mata untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka rela memasuki lingkungan dan kultur yang berbeda demi memperoleh penghasilan yang lebih baik.
Dan kita tahu, lingkungan dan kultur berbeda melahirkan berbagai risiko, apalagi bila kita datang sebagai pekerja yang—jujur saja—dipersepsikan sebagai sosok yang berada pada strata lebih rendah dari pemberi kerja. Kita sudah sering mendengar risiko-risiko apa yang harus dihadapi, dan Anda pun, Bung Adhitya, sudah mengungkapkan: mulai dari penganiayaan sampai penindasan—baik secara fisik maupun ekonomi.
Keadaan ini diperumit oleh sikap kita yang tak juga sudi mempersiapkan para TKI—yang terpaksa berangkat—dengan kecakapan yang lebih tinggi dari standar minimal yang dibutuhkan. Misalnya bila yang dibutuhkan adalah kecakapan grade 1, maka cukup diberikan kecakapan grade 1 saja. Tidak pernah terpikirkan untuk memberikan atau menaikkan grade sekalipun yang dibutuhkan hanya grade 1, agar TKI kita memiliki nilai kompetitif yang jauh lebih baik. Padahal, kecakapan pada para TKI berkaitan erat dengan dignity bangsa. Semakin tinggi kualitas kecakapan TKI kita, akan semakin tinggi pandangan dunia terhadap bangsa kita.Mengatasi hal itu, ada dua pilah besar pekerjaan yang Insya Allah akan saya perjuangkan. Pertama, mendirikan semacam crisis center di negara-negara di mana terdapat TKI kita. Crisis center ini harus memiliki payung hukum yang kokoh dan mekanisme kerjanya terintegrasi dengan kedutaan besar kita di negara tersebut. Kedua, meningkatkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan persiapan dan pemberangkatan para TKI. Agar mereka “dipaksa” melaksanakan tugas mempersiapkan TKI dengan sebenar-benarnya, sesuai yang disepakati.
Secara singkat akan saya jelaskan satu per satu kedua hal tersebut di atas. Crisis center yang saya maksudkan adalah semacam lembaga yang bekerja penuh mengawasi sekaligus memberikan perlindungan kepada para TKI. Lembaga ini harus memiliki payung hukum yang kuat, hingga dapat bekerja secara integratif dengan pihak-pihak lain, terutama kedutaan besar, serta memiliki akses dan kekuatan yang besar untuk “memasuki” lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penyaluran TKI. Payung hukum untuk crisis center ini yang paling tepat, menurut saya, adalah undang-undang (paling lemah Keputusan Presiden/Kepres).
Dengan memiliki payung hukum yang kuat, crisis center akan menjangkau dua hal. Pertama, turut memastikan bahwa persiapan “bekal” kecakapan dan perjanjian kerja yang dibuat benar-benar sesuai kesepakatan. Karena—sebagaimana Anda katakan, inilah yang sering menjadi pemicu bagi berbagai nasib malang yang dialami para TKI. Kedua, melakukan pengawasan dan perlindungan secara rutin dan ketat terhadap TKI selama bekerja, bergandengan tangan dengan kedutaan besar. Dengan cara ini, kita bisa memastikan bahawa para TKI dapat bekerja dengan aman dan memperoleh perlakuan adil. Bukan baru bekerja setelah ada kasus—mirip pekerjaan Departemen Sosial yang baru “turun” setelah terjadi bencana, karena memang seperti itulah tugasnya/juklaknya. Dan yang cukup krusial bagi saya adalah bagaimana para TKI “belajar”, didampingi, dan dilindungi dalam memahami perjanjian kerja. Jangan sampai terjadi lagi, karena sesuatu hal TKI tak bisa meneruskan kerjanya, upahnya jadi tidak dibayar. Semua ini terjadi karena adanya ketimpangan dalam perjanjian kerja yang sangat tidak manusiawi. Oleh karena itu, crisis center pun akan dilengkapi tenaga-tenagar profesional di berbagai bidang.Sementara itu di dalam negeri—ini hal keduya, pengawasan dan perbaikan (regulasi) yang berkaitan dengan persiapan TKI harus dilakukan. Juga harus ada standar perlatihan berdasarkan sertifikasi internasional (ISO). Dengan demikian tidak akan terjadi lagi kasus-kasus mengenaskan dialami TKI hanya gara-gara tak mampu mengoperasikan alat hingga merusaknya. Pelatihan ini pun harus diarahkan bukan hanya memberi para TKI bekal untuk bekerja, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kita. Bobot-bobot kecakapan dan profesionalitas yang dibutuhkan para TKI harus diberikan. Saya kita DPR dapat “memaksa” berbagai lembaga yang berkaitan dengan pemberangkatan dan pelatihan TKI untuk memenuhi hal itu. Ini kan semacam win-win solution. Mereka memperoleh lahan kerja (dan keuntungan) dari memberangkatkan TKI, sedangkan rakyat memperoleh tambahan kecakapan dan profesionalitas sebagai imbalannya.
Hal ini juga berkaitan dengan—seperti Anda katakan—terjadinya “pemerasan” di bandara, saat para TKI pulang. Kita merasakan terjadinya pemerasan namun tidak bisa menghindarinya karena ada ketentuan-ketentuan yang seolah-olah menjadi baking dari pemerasan itu.
Karena itulah, harus dilakukan penguatan posisi TKI secara hukum dan regulasi yang mengatur keberangkatan dan pemulangan mereka. Positioning para TKI seharusnya lebih kuat dibanding para pengirim, karena mereka bukan “barang”. Para penyalur tenaga kerja bukanlah pemberi lapangan kerja. Sesuai namanya, mereka menyalurkan, meneruskan permintaan akan tenaga kerja.
Kenapa kemudian lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja ini dipersepsikan pemberi kerja? Ini karena aspek informasi mengenai lowongan kerja di luar negeri yang begitu minim. Sudah saatnya informasi mengenai hal ini dibuka bagi semua orang. Departemen yang berhubungan dengan tenaga kerja dan informasi harus bahu-membahu dengan pemerintah daerah dalam menyebarkan informasi ini. Hingga yang menjadi “bernilai” bukanlah adanya atau di mana lowongan kerja berada, melainkan kompetensi yang dimiliki para TKI.
Dan dalam ranah yang lebih besar, partai kami, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki berbagai program nyata untuk mengurangi jumlah TKI yang bekerja karena terpaksa ke luar negeri. Program “mengupayakan sembako murah” adalah salah saru solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang akan dijalankan bergandengan dengan langkag-langkah nyata membuka jutaan lapangan kerja bagi rakyat. Karena, walau bagaimana pun, sebagaimana saya katakan di atas, keberangkatan banyak TKI ke luar negeri karena di negerinya sendiri tidak ada pekerjaan yang memadai, adalah bukti ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Demikian Bung Adhitya. Singkat kata, bila Anda mempercayakan suara Anda kepada kami, kami akan wujudkan Undang-undang pembentukan crisis center yang akan memberi perlindungan maksimal terhadap para TKI, sekaligus memperbaiki pelayanan dan mekanisme pemberangatan dan pemulangan mereka, serta meningkatkan kemampuan profesional dan kecakapan mereka.
Terima kasih.
BilLahit’taufiq wal Hidayah
Wassalam,
Rezy Aziz
counter dari saya:
terima kasih Rezy. ada yang ingin saya tanggapi di sini:quote:Karena, walau bagaimana pun, sebagaimana saya katakan di atas, keberangkatan banyak TKI ke luar negeri karena di negerinya sendiri tidak ada pekerjaan yang memadai, adalah bukti ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.end quote
Ini adalah dasar pemikiran yang salah dan pemikiran yang (maaf) terbelakang (sekali maaf, jangan marah ya). Orang banyak yang merantau bukan karena pemerintah dalam negerinya gagal memberi kerja. India punya belasan juta perantau di luar negeri. Apakah artinya pemerintah India gagal? Tapi ini jaman globalisasi bung Rezy. Globalisasi ekonomi tidak lagi melihat negara sebagai batasan untuk supply - demand tenaga kerja. Di mana ada perkebunan dibuka, di sanalah tenaga buruh dibutuhkan. Malaysia kekuranga tenaga kerja, ke sanalah kita pergi. Tidak ada yang salah dengan itu.
Malah mengambil lapangan kerja di luar negeri sangat baik karena mengurangi penganguran di dalam negeri.
Tambahan lagi yang paling penting, menyumbang devisa. Daripada kita jual BUMN yang tidak akan balik lagi, lebih baik mengirumkan TKI karena kami adalah sumber devisa yang dapat diperbaharui dan dapat diperbaiki. Masalahnya adalah 4 pertanyaan kami itu merujuk pada bagaimana kami bisa menjadi TKi yang lebih baik.
Begitu saja bung Rezy. Saya akan upload jawaban ini ke http://apakatacalegln.wordpress.comterima kasih.ps: ada caleg yang bela-belain kampanye ke singapura nih. PDIP gimana?

Counter dari beliau:
Terima kasih untuk tanggapannya. Kalau mau diambil contoh India justru bung salah. Mereka merantau di karenakan tekanan kultur (ke kastaan) dimana di negara mereka sendiri orang berprestasi tidak akan maju. Mereka harus merantau untuk mendapatakan kesempatan yg baru dimana negara tersebut tidak memberlakukan strata sosial. Masalah Imigrant di Amerika misal yg negara maju pasti dasar nya adalah perekonomian bukan politkal (bukan supply demand labor). Nah kalau Indonesia saya melihat ke tidak mampuan pemerintah kita memberikan pekerjaan yg layak. Saya pun demikian ketika kembali kenegara yg kita cintain ini thn 1999, sebagi drop out an dr S3 di UC Berkley saya dianggap overqualified tiap kali saya melamar pekerjaan. Meskipun sy sdh mendowngrade menjadi asistant manager. Akhirnya saya bisa melamar sebagai dosen sj. Orang Indonesia tidak akan merantau mencari pekerjaan di luar negeri klu di dlm negeri sdh bisa mendapatkan pekerjaan yg layak krn orang Indonesia kebudayaan nya hanya nyaman di negeri sendiri. Mudah2an penjelasan detail pendapat sy ini bisa lebih menjelaskan.
Insyaallah diberikan kesempatan kita kampanye di LN.
Wass

counter dari kami:
Terima kasih atas perndapatnya. Well kita bisa gak selesai debat ini. Intinya saya tidak setuju dengan prinsip dasar bahwa lebih baik kerja di Indonesia ketimbang di luar negeri. Karena perekonomian berjalan dengan supply demand tenaga kerja dan lapangan kerja yang muali borderless. tapi kita agak akan selesai debat seperti ini. Anyhoo jawaban ini akan saya update lagi di entry anda di sini:http://apakatacalegln.wordpress.com/2009/03/24/jawaban-dari-caleg-pdip-rezy-aziz/

Isu Buruh Posisi Terakhir Kampanye Parpol

Senin, 30 Maret 2009 04:35 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/30/0435441/isu.buruh.posisi.terakhir.kampanye.parpol
Kampanye partai politik untuk meraih suara pemilih dalam pemilihan umum 9 April mendatang semakin semarak. Namun, sedikit sekali partai politik yang menempatkan masalah perburuhan sebagai isu utama kampanye. Demikian hasil survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) yang diluncurkan di Jakarta, Sabtu (28/3). Survei ini melibatkan 500 responden dari kalangan buruh dan analisis isi pemberitaan parpol di sembilan media cetak. Pembahasan tentang pengangguran dan perluasan lapangan kerja hanya 0,38 persen dari pemberitaan tentang parpol selama dua bulan terakhir. Isu yang paling menonjol adalah koalisi (32,05 persen), sistem pemilu, dan pertumbuhan ekonomi makro. Rendahnya komunikasi parpol dengan buruh juga terlihat dari minimnya pengurus parpol yang hadir dalam dialog nasional ”Buruh Bertanya, Parpol Menjawab” yang digelar OPSI. Dari 12 parpol yang diundang, hanya 6 yang mengirim wakil untuk berdiskusi dengan penggiat gerakan buruh. (ham)

1,4 Juta Suara Pemilih Luar Negeri, Kantong Suara Potensial Pemilu 2009

Rel/Muslim - Padang Today


Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia (PPIM) bekerjasama dengan PPI UKM gelar acara diskusi dengan tema "Dialog Menuju Indonesia yang Lebih Baik" di Gedung Fakultas Sains Sosial Kemanusiaan (FSSK) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Bangi, Sabtu (21/3). Acara yang dibuka oleh Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur Malaysia Imran Hanafi itu dihadirkan nara sumber Direktur Migrant Care Anis Hidayah, Ketua PPLN Kuala Lumpur Teguh Hendro Cahyono, dan Aktivis Indonesian Brain Circulation Network-Malaysia Yudanto Hendratmoko .

Dalam kesempatan itu ditandatangani kerjasama (MoU) antara PMPP (Posko Masyarakat Peduli Pemilu) sebuah lembaga dibentuk PPI Malaysia untuk mengawasi jalannya pemilu, dengan Serikat Pekerja Migran Indonesia (UNIMIG) Malaysia merupakan pemantau resmi Pemilu yang terakreditasi KPU.

"Sekitar 1,4 Juta pemilih Luar Negeri merupakan kantong suara sangat potensial dalam Pemilu mendatang. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya berada di Malaysia mayoritas pekerja buruh migran. Oleh sebab itu, proses Pemilu harus diawasi agar caleg terpilih betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya buruh migran,” ungkap Anis Hidayah. Direktur Migrant Care ini berkesimpulan sebanyak sembilan Anggota DPR-RI 2004-2009 yang mewakili konstituen pemilih Luar Negeri, tidak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan buruh migran di parlemen secara optimal.

Sementara itu, Ketua PPLN Kuala Lumpur Teguh Cahyono mengatakan meskipun kendala dilapangan ada saja terjadi. Namun, kesiapan PPLN untuk menyelenggarakan Pemilu bersih dan berkualitas tetap dilaksanakan. "Potensi kecurangan pemilu mungkin terjadi saat hari-H di negeri jiran.

Ada dua titik lemah yang perlu diawasi, yaitu undi pos dan dropping box,” Aktivis Indonesian Brain Circulation Network-Malaysia Yudanto Hendratmoko. Hal senada juga diungkapkan Presiden UNIMIG Muhammad Iqbal yang bertekad untuk memantau pemilu secara maksimal melalui proses undi pos dan dropping box untuk meminimalisir potensi kecurangan akan terjadi.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua PPIM Irfan Syauqi Beik menyatakan bahwa jaringan PPI Malaysia siap bergerak untuk mensukseskan jalannya PMPP ini. Ini wujud kepedulian dan kecintaan mahasiswa terhadap bangsa dan negara. Ketua PMPP Khairul Rahman, mengatakan PMPP telah membuka secara resmi layanan aduan Pemilu via email pemilu@ppimalaysia.org dan layanan sms 0134485497. ”Hanya laporan yang sah dan memenuhi syarat yang akan dilaporkan kepada Bawaslu, Panwaslu Malaysia, dan lembaga pemantau resmi Pemilu seperti UNIMIG,” tutup Khairul. [*]

Senin, 23 Maret 2009

TKI Hanya Pelengkap Pemilu

By Republika ContributorMinggu, 22 Maret 2009 pukul 05:34:00

KUALA LUMPUR -- TKI (tenaga kerja Indonesia) di luar negeri selama ini hanya menjadi pelengkap dalam Pemilu karena aspirasi politiknya hanya digunakan untuk menambah suara dalam Pemilu setelah itu kepentingannya dilupakan.

"Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, ada sembilan calon yang terpilih menjadi anggota DPR untuk Dapil 2 DKI Jakarta yang mencakup wilayah luar negeri, tapi setelah terpilih sebagian besar ditempatkan di komisi yang tidak berkepentingan dengan aspirasi masyarakat atau TKI di luar negeri," kata Anis Hidayah, direktur Migrant Care, di Selangor, Sabtu sore.

Anis Hidayah mengatakan hal itu dalam dialog Pemantauan Pemilu 2009 yang diselenggarakan oleh PPI (persatuan pelajar Indonesia) Malaysia. Selain Anis, tampil juga ketua PPLN (panitia pemilihan luar negeri) yang juga atase tenaga kerja KBRI Kuala Lumpur Teguh H Cahyono, dan pengamat Pemilu Yudanto.Sepanjang pengabdian mereka di DPR 2004-2009, sembilan anggota DPR ini kurang memperjuangkan aspirasi buruh migran. "Tidak ada satu pun tindakan politik yang dilakukan sembilan anggota DPR RI yang suaranya dipilih dari buruh migran untuk memberikan perlindungan buruh migran Indonesia," kata Anis.

"Yang paling nyata dan kasat mata adalah tidak ada satu pun anggota DPR yang terpilih dari suara buruh migran menjadi anggota Komisi IX yang membidangi masalah perburuhan," tambah direktur migrant care itu."Di komisi I yang membidangi masalah luar negeri, tiga anggota yang terpilih dari suara buruh migran juga tidak bersuara sama sekali kasus Nirmala Bonat (2004), deportasi masal TKI dari Malaysia, eskalasi hukuman mati buruh migran, kasus Ceriyati dan penganiayaan keji empat buruh migran Indonesia di Arab Saudi. Banyak kasus TKI, dan selalu mereka bungkam," tambah Anis.

Dari mereka ada satu orang yang ditempatkan di Komisi IV bidang kelautan, dua orang ditempatkan di komisi V yang membidangi perhubungan, tapi mereka tidak pernah memperjuangkan nasib pelaut Indonesia di luar negeri, katanya.

Berdasarkan pengalaman dalam Pemilu 2004, kurang dari 10 persen buruh migran Indonesia yang menggunakan hak politiknya. Di Malaysia, dari 2 juta lebih buruh migran hanya 400.000 yang terdaftar sebagai pemilih, dan hanya 70.000 yang menggunakan hak pilihnya. Artinya hanya empat persen TKI di Malaysia yang terpenuhi hak politiknya dalam Pemilu 2004, ungkap Anis.

Indonesia semestinya bisa bercermin dengan Filipina yang tidak mengabaikan hak politik buruh migran dalam Pemilu. Filipina memiliki UU khusus yang mengatur pelaksanaan Pemilu bagi buruh migrannya. UU itu mengatur secara detil pemenuhan hak politik buruh migran Filipina, mulai dari proses pendaftaran hingga pelaksanaan Pemilu.

Sementara itu, ketua PPLN Teguh Cahyono mengatakan, bahwa dalam Pemilu kali ini, ada tiga calon anggota DPR yang merupakan permanent residence di Malaysia. Itu menandakan suatu kemajuan bagi WNI di Malaysia yang memiliki calon sendiri pada Pemilu kali ini. - ant/ahi

UNIMIG dan Migrant Care Fokus Awasi Undi Pos di Malaysia

Ramdhan Muhaimin - detikPemilu
Kuala Lumpur - detik.com

Dua organisasi buruh independen yaitu Union Migrant (UNIMIG) Indonesia dan Migrant Care 'berkoalisi' melakukan pemantauan pemilu di Malaysia. Pelaksanaan dropping box dan undi pos pun menjadi salah satu prioritas utama pantauan."Yang terpenting dipantau dalam konteks pemilu di Malaysia ini adalah dropping box dan undi pos. Karena pada kedua teknis itu sangat rawan kecurangan," ujar Presiden UNIMIG Indonesia Muhammad Iqbal usai Dialog Kebangsaan Menuju Indonesia Lebih Baik di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Sabtu (21/3/2009).

Dialog yang diadakan oleh PPI Malaysia bekerjasama dengan PPI cabang UKM itu dihadiri oleh Atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur Imran Hanafi, Ketua PPLN Teguh Hendro Cahyono, Ketua Indonesian Brain Circulation Network (IBCN) Yudanto Hendratmoko, dan mahasiswa Indonesia di Malaysia. Dalam acara tersebut juga ditandatangani MoU kerjasama PPI dengan UNIMIG Indonesia untuk pemantauan pemilu bersama dalam wadah Persatuan Masyarakat Pemantau Pemilu (PMPP).

Iqbal mengatakan, UNIMIG akan mengerahkan anggota-anggotanya dan bekerjasama dengan organisasi masyarakat Indonesia lainnya untuk melakukan pengawasan pemilu. Selain itu, UNIMIG juga mendesak agar PPLN Kuala Lumpur melakukan perbaikan dan validasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebelum pelaksanaan Pemilihan Legislatif pada 9 April 2009 mendatang.

"Masih ada waktu. Sebelum pemilu, PPLN harus melakukan perbaikan DPT. Karena DPT yang sekarang masih banyak yang bermasalah. Banyak alamat fiktif dan nama ganda," cetusnya.

Ketum PPI Malaysia Irfan Syauqi Beik mengatakan, telah berkoordinasi dengan 19 PPI cabang di seluruh perguruan tinggi di Malaysia untuk menggerakkan PMPP. "Ini demi terwujudnya pelaksanaan pemilu yang jujur dan bersih dari kecurangan," katanya.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menambahkan, mengkhawatirkan permasalahan DPT dapat berdampak kepada penurunan tingkat partisipasi pemilih di Malaysia yang kebanyakan dari kalangan tenaga kerja. Apalagi, lanjutnya, gelombang PHK di negeri jiran tersebut akibat krisis keuangan global masih terus berlanjut."Pasti. Angka pasti memang tidak dapat diprediksi. Tapi PHK ini pastinya berpengaruh terhadap DPT dan partisipasi pemilih," kata dia.

Menurut dia, faktor lain susahnya meningkatkan partisipasi pemilih di Malaysia adalah disebabkan pendidikan politik TKI yang masih rendah.Meski demikian, dia mengungkapkan, pihaknya tetap akan memantau pelaksanaan pemilu di Malaysia. "Kami akan bekerjasama dengan mahasiswa untuk bantu di sana-sini. Juga dengan UNIMIG, kami masih diskusikan teknisnya. Karena Migrant Care dan UNIMIG sudah terakreditasi di KPU untuk menjadi pemantau independen," pungkas Anis.( rmd / mok )

Selasa, 17 Maret 2009

Migrant CARE Lolos Sertifikasi Lembaga Pemantau Pemilu

24 Lembaga Pemantau Pemilu Lolos Sertifikasi
Nantinya lembaga inilah yang berhak melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan Komisi.
Selasa, 17 Maret 2009, 17:03 WIB

Ismoko Widjaya, Suryanta Bakti Susila

VIVAnews - Sebanyak 24 lembaga pemantau pemilu lulus sertifikasi dari Komisi Pemilihan Umum. Sertifikat itu menandai lembaga pemantau berhak melaksanakan pemantauan pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara."sertifikasi berdasar undang-undang pemilu dan peraturan KPU nomor 45 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemantauan," kata Ketua Komisi Pemilihan, Abdul Hafiz Anshary, di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta Pusat, Selasa, 17 Maret 2009.Anggota Komisi lainnya, I Gusti Putu Artha, meminta lembaga pemantau menyiapkan personel dan terus berkoordinasi dengan Komisi. "Ke depan, perlu koordinasi menentukan titik-titik pemantauan yang dinilai rawan perlu diperbanyak pemantaunya," kata dia.Lembaga pemantau yang lulus sertifikasi itu terdiri atas 24 pemantau dalam negeri, tujuh pemantau luar negeri, dan tujuh pemantau diplomatik.

Selain lembaga pemantau, Komisi juga meregistrasi 16 lembaga survei di tanah air. Nantinya lembaga inilah yang berhak melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan Komisi.

Berikut daftar lembaga pemantau 24 Lembaga Pemantau Dalam Negeri
1. Lembaga Pemantau Pemerintahan Negara Kesatuan RI (LPP NKRI)
2. Badan Pengurus Pusat Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Rakyat Tani Indonesia (LSM PRTI)
3. Yayasan Mustika Negara (JAMUS NEGRI)
4. Garda Santri Nusantara (Garsantara)
5. Migrant Care
6. KIPP Indoneisia
7. LPPM UGM
8. Lembaga Pemantau Pilkada dan Pemilu Serikat Wartawan Indonesia (LP3-SWI)
9. Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia (GMP-AM)
10. LSM-Patriot Indonesia (LSM-PI)
11. Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)
12. Indonesian Society for Civilized Election (ISCEL)
13. LSM Gerhana
14. Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesai
15. Warna Press Peduli Pemilu
16. National Election Institute
17. Komite Pemilih Indonesia (TEPI Indonesia)
18. Masyarakat Pemantau Pemilu-Persatuan Wartawan Indonesia (MAPILU-PWI)
19. Yayasan Pembangunan Kwalitas Bangsa Cq. Lembaga Study Internasional Ora Et Labora
20. KPP (Komite Pemantau Pemilu) KAHMI
21. Gerakan Kebangsaan (Gerbang)
22. Cirus Surveyor Group (CSG)
23. LPAB YAFERNUS
24. SPMI-UNIMIG Indonesia

Daftar tujuh lembaga pemantau Luar Negeri:
1. National Democratic Institute (NDI)
2. IFES (international Foundation for Electoral System)
3, Friedrich Nauman Stiftung fur die freiheit (FNS)
4. ANFREL Foundation (Asian Network for free elections Foundation)
5. AEC (Australia Election Comision)
6. The Carter Center
7. International Republican Institute (IRI)

Daftar tujuh pemantau diplomatik/kedutaan
1. Delegasi Uni Eropa
2. comelec Uni (KPU Pilipina)
3. KPU Afghanistan
4. KPU Timor Leste
5. AUSAID
6. Kedutaan Brunei Darusaalam
7. Kedutaan Pakistan

Senin, 16 Maret 2009

Migrant Care Usulkan Wilayah Luar Negeri Menjadi Daerah Pemilihan Sendiri

Kamis, 5 Maret 2009
JAKARTA [KANALPEMILU.NET] - Migrant Care mengusulkan agar daerah pemilihan luar negeri tidak digabung dengan daerah pemilihan Jakarta. Dengan 6 juta tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri, analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo menilai sudah cukup untuk dibentuk daerah pemilihan (dapil) sendiri. Jumlah 6 juta tersebut kata Wahyu belum termasuk warga Indonesia lainnya yang sedang belajar dan keluarga yang mengikutinya. Selain itu pembentukan dapil tersendiri menurut Wahyu juga diperlukan karena selama ini legislator yang terpilih dari dapil luar negeri dan Jakarta tak pernah memperhatikan konstituennya.
“Dengan jumlah 6 juta, harusnya mereka punya wakil sendiri tidak ndompleng ke Jakarta, mereka benar-benar representasi. Sebenarnya bisa diafirmasikan seperti tuntutan teman-teman gerakan perempuan. Ada reserve seat untuk teman-teman buruh migran. Dan bisa. Jumlahnya 6 juta. Dan setahun dia mengkontribusi remitensi 100 trilyun tapi tidak pernah ada penghargaan kepada mereka,” kata Wahyu.
Wahyu Susilo menambahkan anggota DPR periode 2004-2009 yang terpilih dari dapil Jakarta dan luar negeri selama ini tidak pernah terlibat dalam proses pembuatan undang-undang terkait perlindungan TKI. Proses tersebut justru lebih banyak didorong oleh mereka yang tergabung dalam kaukus perempuan DPR. [KBR-68H]

Suara Dari Hongkong

Dikutip dari: http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3142/PERLUKAKH_BURUH_MIGRAN_IKUT_PEMILU



KEMANAKAH SUARA BURUH MIGRANT ????????????
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary memprediksi pemilih di luar negeri yang menggunakan haknya hanya separuh dari total pemilih. Partispasi yang kurang itu disebabkan hari pemilihan umum merupakan hari kerja. "Saat itu hampir semua warga kita bekerja dan sulit memberikan untuk suaranya dalam pemilu," katanya di Kantor KPU.
Menyiasati hal itu, KPU juga telah menyiapkan surat suara dalam amplop. Sehingga setelah memilih, surat suara itu bisa langsung dikirim ke Indonesia melalui pos. "Tidak perlu ke tempat pemungutan suara yang ada di Kedutaan," katanya. Hafiz memperkirakan jumlah pemilih di luar negeri 3 juta orang. "Meski saat ini yang dilaporkan 1,6 juta, hampir sama dengan pemilu lalu," katanya. Suara pemilih dari luar negeri ini, nantinya akan masuk daerah pemilihan Jakarta II, yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Koran Tempo Selasa (29/7).

Mbak sudah terdaftar dalam dartar pemilih tetap belum?, tanyaku pada Mbak Mega aktivis Buruh Migrant Indonesia (BMI) di Hongkong dan juga kepada beberapa BMI lainnya yang saya temui sepanjang perjalanan saya di Makau dan Zhen Zhen, negara China.
Sebut saja Reni Farida, TKW asal Delopo, Madiun sudah bekerja 8 tahun di Hongkong menuturkan pengalamannya, dia tidak mengikuti Pemilu tahun 2004, baik untuk Pemilu DPR maupun Pemilu Presiden. Pada waktu pemilu tersebut dia tidak dapat ijin dari majikan alias tidak dapat cuti meski iya sempat didaftarkan dalam daftar pemilih tetap oleh temannya. Bagi saya ikut pemilu atau tidak gak ada bedanya massss jawabnya, siapa yang akan dipilih saya tidak kenal mereka mereka juga tidak akan kenal aku jawabnya. Pemilu untuk memilih Wakil Rakyat, dan Pemerintahan jawabku. Wakil Rakyat apa, pemerintahan yang mana masss, jawabnya semakin kesal saja aku terdiam sesaat.
Reni Farida yang beberapa tahun ini aktif sebagai pembela Buruh Migran Indonesia di Hongkong malah tidak tahu apakah dirinya dan beberapa temanya sudah terdaftar atau masuk dalam daftar pemilih tetap untuk pemilu tahun 2009, menurutnya sampai sekarang organisasi BMI yanga da di Hongkong belum pernah dijak berbicara atau disosialisasikan mengenai pelaksanaan Pemilu 2009 oleh KPU. Baginya ikut pemilu atau tidak sama saja nasib BMI semakin terjepit dan menjadi bahan dagangan politikus. Jangankan dibela hak-haknya oleh Wakil Rakyat, mau mengadukan nasibnya saja sewaktu ada kunjungan DPR ke Hongkong tidak bisa, lalu kenapa saya harus pilih mereka lagi, tidak sudi aku tegasnya.
Lain Reni lain pula jawaban dari Mbak Mega Vristian, BMI yang aktif menulis buku ini, menurutnya saat ini temen2 BMI cenderung bersikap pasif terhadap pemilu 2009. Pemerintah seharusnya belajar dari berbagai pengalaman pemilu sebelumnya, mestinya pemerintah tidak membuat undang undang yang hanya menyulitkan diri sendiri, Wanita berjilbab asli AREMA ini menuturkan, peraturan pemilu dimana 1 TPS hanya untuk 500 orang pemilih tidak memungkinkan untuk dilaksanakan di Hongkong. Lokasi KJRI tidah mungkin untuk dibuat TPS segitu banyak mengingat BMI di Hongkong saat ini hampir mencapai 80.000 orang. Lebih lanjut dia menuturkan mengubah nasib BMI tidak harus lewat Pemilu. BMI harus pintar, makanya Mbak Mega dan Kawan-kawan lebih senang meng up grade BMI, BMI harus Pintar, BMI harus mandiri, untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Yang lebih Penting lagi BMI harus tahu hak-hak mereka di luar negeri.
Selain masalah TPS, masalah banyaknya partai peserta pemilu, pemilu tidak pada hari libur sangat diragukan keberhasilannya, gimana mau milih mas, terdaftar tidaknya tidak tahu, coblosnya bukan hari libur, terus selama ini tidak pernah tahu kapan dan dimana akan dilaksanakan pencoblosan sedangkan pemilu sudah semakin dekat.
Sedangkan BMI lainnya menyatakan untuk apa saya memilih mas, saya orang Ponorogo, Jawa Timur Mas, saya mau milih calon yang berasal datau mewakili daerah Ponorogo, buat apa saya milih orang Jakarta, kenal pun tidak, dan dia gak bakalan perjuangan nasib saya dan saudara2 saya di kampung sana, kalau pemilihan presiden she ok saya sudah punya pilihan sendiri. Sapa mbak pilihan presidenya, yaaa saya milih presiden yang mau menghapuskan diskriminasi di Terminal III dan IV Soekarno Hatta, sakit mas kalau BMI macam kita-2 ini sudah masuk terminal itu, untuk apa seh sukanya membuat susah para BMI????????
Suara Buruh Migrant Indonesia di Brunei Darussalam
Buruh Migrant Indonesia di Brunei hampir mencapai 40.000 orang tersebar di berbagai sektor, ada yang bekerja di sektor pemerintahan, Dosen, Guru, buruh bangunan, sopir, penjahit, tukang kebun, dan sebagian besar amah atau pembantu rumah tangga.
Komisi Pemilihan Umum dan Kedutaan Besar Republik Indoneisa Bandar Seri Begawan telah melakukan sosialisasi pelaksanaan Pemilu tahun 2009 pada kantong-kantong BMI. KBRI bekerja sama dengan Persatuan Masyarakat Indonesia (PERMAI) selalu mensosialisasikan pemilu 2009 pada setiap kesempatan yang ada.
Kemanakah suara BMI di Brunei Darussalam akan disalurkan????????
Kebanyakan BMI di Brunei Darussalam yang saya tanya mengenai keikutsertaan dalam pelimu 2009 menyatakan Pemilu DPR NO, Pemilu Presiden YES !!!. Keengganan memilih wakil rakyat dalam pemilu BMI mempunyai alasan klasik, mereka tidak tahu siapa wakilnya yang akan dipilih. Keberadaan BMI di Brunei Darussalam yang berasal berbagai dari daerah di Indonesia khususnya tiga Besar Jawa Timur (Banyuwangi, Tulung Agung, Blitar, Malang) Jawa Tengah(Cilacap, Purwokerto, Wonogiri ) dan Jawa Barat Garut Tasik Malaya), mereka tidak mau memilih karena dimasukkan DAPIL DKI II dan Jakarta Selatan. ( sanak, bukan kadang bukan kenapa harus ku pilih ? katanya )
Agus salah seorang BMI yang bekerja di daerah Muara saya tanya mau ikut pemilu atau tidak dengan enteng dia menjawab tidak, meski sudah saya daftarkan sebagai pemilih tetap dia tetapmogah untuk ikut pemilu, terutama pemilu DPR. Demikian juga dengan beberapa BMI yang lain mereka mengeluhkan pelaksanaan pemilu yang jatuh pada hari kerja.
Kendala transportasi di brunei juga menjadikan alasan kenapa mereka enggan pergi ke TPS, nunggu bus lewat saja mereka harus rela antri 1 jam, itu kalau kebutulan tidak penuh kalau penuh sopir Bus juga tidak mau menaikkan penumpang, mau naik taksi sapu juga takut kena razia polisi, naik ojek apa lagi, Brunei tidak mengenal ada nya ojek.
Melihat beberapa macam alasan yang dilontarkan oleh para BMI prediksi keikutsertaan mereka akan sangat kecil dibandingakan jumlah mereka yang ter daftar, terutama sekali pada pemilu Wakil Rakyat. Celakanya pemilu Wakil Rakyat akan menentukan kursi dimana, Calon Presiden dan Wakil Presiden akan di Jagokan.
Keengganan BMI Ikut pada Pemilu Legeslatif antara lain :
1. BMI di luar negeri disuruh memilih Wakil Rakyat daerah DAPIL II Jakarta dan Jakarta Selatan adalah suatu yang konyol. BMI diluar negeri sudah sangat yakin bahwa apapun sura yang dihasilkan caleg DAPIL II DKI Jakarta tidak akan memperjuangakan nasib para BMI yang mayoritas berasal dari luar Jakarta. ( caleg jakarta bilang emang gue pikirin nasib BMI), disamping tidak kenal BMI rata-rata ingin suaranya disalurkan untuk daerah dimana berasal.

2. BMI menginginkan Wakil Rakyat yang Khusus menyuarakan aspirasi mereka, malahan beberapa temen BMI di hongkong, Jepang korea, Malaysia sepakat untuk memilih DPD yang mewakili suara Luar Negeri. Satu negara yang suaranya cukup untuk 1 anggota DPD di wakili 1 DPD. Misalnya untuk DPD di Indonesia harus memenuhi 50 ribu suara maka BMI di Korea akan mendapatkan jatah satu anggota, atau di gabungkan, DPD mewakili KOREA, Hongkong dan Jepang, Brunei dan Malaysia 1 anggota DPD, BMI di Midle East 1 Suara DPD, lebih simple BMI gak pusing dengan Banyaknya Parpol.

3. BMI bukannya barang dagangan, itu yang sekarang terjadi, BMI semakin Pintar, dari beberapa pemilu yang melibatkan BMI di luar negeri belum ada satu anggota Dewan di Senayan menyuarakan kepentingan BMI, Meski para anggota dewan di senayan sering mendengar kasus penganiayaan BMI di Malaysia, Singapura dan Saudi tidak pernah mereka bersuara mengenai nasib Buruh Migrant. Malahan sering terdengar anggota Dewan yang terhormat di gelandang oleh KPK ke penjara.
4. Legislatif yang membuat undang-undang pemilu tidak pernah melakukan dengar pendapat dengan para BMI, mengenai kendala dan kesulitan menggunakan hak pilih BMI di luar negeri, lain teori lain praktek , sstttttttt! kata BMI di Korea wakil rakyat hanya jalan2 saja tidak pernah dengar pendapat dengan BMI kalau kunjungan kesana..
BMI juga manusia seperti sebuah judul lagu, BMI juga ingin di dengar suaranya, kalau ingin mendapatkan suara BMI dengarkan keluhannya. Dan sampai sekarang belum ada satu gerakan calon anggota dewan yang terhormat mengunjungi BMI.
Lalu kemanakah suara BMI akan tersalurkan ??? ehhmas kok mikir kemana dan mikirin calon legeslatif tha mass, mereka saja gak pernah mikir kita-kita, gak usah dipikir mas??? (dari berbagai sumber dar tanya jawab dengan BMI, Hongkong, Korea, Taiwan, Malaysia dan Brunei Darussalam )

Tags: , ,
Prev: PAYAAAH......!!!!!Next: UNTUK APA PEMILU???????????????
reply
7 CommentsChronological Reverse Threaded


reply
leo4kusuma wrote on Jan 9
Oke deh, mudah2an suara mereka didengar. Saya copy dulu tulisan di atas, Insya Allah bs saya sebarkan lagi. Mungkin belum saatnya skrg ini demokrasi mendekati sempurna. Mudah2an juga aspirasi di sini ga cm didengar ato dipertimbangkan tapi Insya Allah bs ditindaklanjuti. Trims!

reply
bambang2000 wrote on Jan 9, edited on Jan 9
leo4kusuma saidOke deh, mudah2an suara mereka didengar. Saya copy dulu tulisan di atas, Insya Allah bs saya sebarkan lagi. Mungkin belum saatnya skrg ini demokrasi mendekati sempurna. Mudah2an juga aspirasi di sini ga cm didengar ato dipertimbangkan tapi Insya Allah bs ditindaklanjuti. Trims!
Makasih mas, saya hanya dititipi pesan oleh temen temen BMI di Malaysia, Hongkong, Korea, Jepang, dan Midle East, mudah2 mudahan nanti setiap negara yang ada Buruh Migrant Indonesianya mempounya 1 anggota DPD atau perwakilan yang dapat menyuarakan keluahan-2 teman2 disana, Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Kami para BMI benar-2 tadak punya wakil di Senayan Massss, mana ada CALEG atau anggota DPR yang berani mengatas namakan wakil Buruh Migrant Indonesia. Sudah waktunya BMI punya wakil sendiri, menyuarakan keluhan sendiri, Ayo Indonesia Bangkit benahi apa yang ada untuk kesejahteraan BMI

reply
leo4kusuma wrote on Jan 9
bambang2000 saidmana ada CALEG atau anggota DPR yang berani mengatas namakan wakil Buruh Migrant Indonesia
Ada alternatifnya, Insya Allah aspirasi ini bs diteruskan lewat blog2 lain. Saya minta jg kepada semua blogger spy dgn kesadaran sendiri utk bs meneruskan pula aspirasi di sini. Ini sangat penting sekali krn buruh migran juga menyumbang devisa cukup besar. Sekali terima kasih kpd Mas Bambang krn sudah berpartisipasi. Anda baru saja melakukan suatu hal besar, semoga bisa diiikuti blogger2 yg lain.

reply
syekhalmukhlish wrote on Jan 9
yang saya tahu buruh migrant itu minggat/kerja keluar negeri karena pemerintah atau yang merasa mewakili rakyat itu ga pernah becus ngurus negara,dan calon-calon yang akan di pilih 2009 pun hampir 80 % adalah manusia2 lama yang pernah merepotkan negara.jadi sebagai buruh migrant saya berpendapat untuk apa milih yang selalu membuat hidup di indonesia semakin susah.ga milih ga pateen

reply
bambang2000 wrote on Jan 10
"jadi sebagai buruh migrant saya berpendapat untuk apa milih yang selalu membuat hidup di indonesia semakin susah"Sebagai Buruh Migrant Indonesia kita harus bersatu menggunakan hak pilih kita atau menyuarakan agar BMI mendapatkan jatah Wakilnya di Parlemen, tanpa memasuki sistem kita juga sama saja membiarkan suara BMI menjadi santapan mereka (poli-TIKUS), Waktunya BMI Bangkit menyuarakan hak-haknya, bayangkan saja 2juta lebih BMI bersatu dan mendapatkan dukungan dari keluarga di kampung, berapa perolehan suara BMI nantinya, dan BMI layak diperhitungkan. Ayooooooooo Maju terus BMI

reply
dirgan2000 wrote on Jan 10
Ini adalah hal yang positif yang perlu disampaikan kepada Pemerintah kita mengenai Buruh Migran Indonesia. Mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban dan mereka juga sudah banyak menyumbangkan devisa utk negara kita tpi negara kita belum juga mengambil langkah yang positif guna mensejahterakan dan memperhatikan mereka di luar negeri. Artikel bagus sekali untuk dibaca oleh blogger yg lain dan khususnya Pemerintah kita. Semoga menjadi perhatian...Amin

Pertanyaan-pertanyaan untuk Caleg Dapil Luar Negeri

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inisiatif teman-teman Indonesia yang sedang berada di luar negeri. Mereka mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

Pertanyaan Untuk Para Caleg LN
March 2, 2009 by wnitki

Dear all, dalam kurang dari 40 hari, semua WNI akan ikut dalam PEMILU. WNI perantau (TKI/TKW) akan memilih caleg yang akan mewakili kita di luar negeri.

Kita sudah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan di bawah untuk diajukan pada caleg luar negeri. Berikut adalah daftar pertanyaan:

Saat ini terdapat 6 juta WNI yang bekerja di luar negeri (2.7% populasi Indonesia). 90-95% dari 6 juta ini adalah tenaga kerja kerah biru + pekerja rumah tangga (PRT). 6 juta WNI perantau ini dalam tahun 2008 menyumbang Rp 6 trilyun (USD 6 Milyar) yang mana adalah 11.7% devisa negara saat ini (data dari BNP2TKI). Korelasinya adalah: 2.7% populasi ini menyumbang devisa sebesar 11.7%. Tidak dapat dipungkiri bahwa WNI perantau memegang peranan penting dalam ekonomi negara. Namun kami masih memiliki banyak isu-isu seperti di bawah. Mohon berikan jawaban anda, mewakili partai anda dengan jelas dan kongkret.

1. Isu TKW yang disiksa di luar negeri & Perlindungan TKI di Luar Negeri

Selama ini di Saudi Arabia sudah ada Komisi perlindungan TKW tapi penyiksaan masih tetap ada. Banyak TKW yang diperkosa. Juga disiksa sampai ke tahap gigi mereka dicabut atau anggota badan mereka disetrika. Komisi perlindungan TKI sudah ada di Saudi Arabia, tapi lebih ke perlinduangan setelah korban terjadi, bukan komisi yang bekerja untuk menghindari insinden ini terjadi.

Question: Apa langkah kongkrit yang akan anda lakukan untuk mengurangi tingkat penyiksaan terhadap TKW/TKI di luar negeri.

2. Isu Kualitas TKW yang akan dikirim ke luar negeri

Selama ini Indonesia masih menduduki peringkat terbawah dari tingkat gaji, dibanding Filipina dan bahkan Sri Lanka. Alasan mereka adalah karena TKW Indonesia buta teknologi sehingga sering merusak barang-barang elektronik. TKI Indonesia buta bahasa Inggris sehingga sering salah komunikasi.

Question: Apa langkah kongkrit caleg untuk mendorong pemerintah meningkatkan kualitas TKI yang akan dikirim. Contohnya: apakah anda akan memperjuangkan membuat sebuah badan pendidikan tepat guna untuk mendidik semua TKI? Apakah badan ini menjadi satu-satunya badan yang meluluskan TKI.

3. Isu Perlindungan TKW di Bandara

Setelah berganti 5 presiden, di bandara sudah ada spanduk ’selamat datang para pahlawani devisa’ namun satu-satunya penghargaan yang terasa hanya spanduk itru. TKW masih tetap diperas oleh berbagai oknum setiba di bandara. Beberapa TKW disiksa oleh majikannya di negara tempat dia kerja, dan setibanya di kampung halamnan, masih diperas.

Question: Apa langkah kongkret dan langkah hukum yang anda akan tempuh sebagai caleg kita, untuk menghilangkan praktek ini? karena cukup menyedihkan.

4. Isu Penindasan/Diskriminasi TKI di Luar Negeri

Selama ini di Malaysia, cukup sering bahwa dalam sebuah berita kriminal, ada oknum kejahatan yang berkebangsaan Indonesia. Bisa jadi buruh yang membunuh majikannya, buruh yang mencuri perhiasan majikan, dll. Namuin di beberapa kasus juga ada majikan-majikan yang menolak untuk mengupah sesuai janji, dan ini yang memicu amarah buruh dan akhirnya menimbulkan kriminalitas yang membawa nama Indonesia.

Question: Apa langkah kongkrit yang akan anda lakukan untuk mengurangi tingkat penindasan terhadap TKW/TKI di luar negeri.
Singkatnya, banyak dari kami yang di luar negeri kerja dibayar murah, kerja disiksa dan pulang diperas. Sebagai caleg LN, apa program kerja anda untuk membantu kondisi ini?
Pertanyaan ini tidak bermaksud menyudutkan mas/mbak. Pertanyaan ini kami ajukan untuk mencari tahu partai mana yang memiliki visi yang mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan kami. Sebagai perbandingan, populasi perantau 6 juta yang tersebar ini, sama dengan populasi kota Bandung. Menjadi wakil WNI TKI tidak ubahnya menjadi wakil dari penduduk kota Bandung. Sekali lagi, jawaban dari masing-masing partai akan kami upload di blog ini: http://apakatacalegln.wordpress.com

Persiapan Pemilu untuk Warga Negara Indonesia di Luar Negeri Masih Karut Marut !!!

Pemiihan Umum kurang dari sebulan lagi, namun demikian hingga saat karut marut persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum masih terlihat disana-sini. Situasi karut-marut ini juga terlihat dalam persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum untuk warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.



Ketidakseriusan pihak Komisi Pemilihan Umum dalam pelaksanaan Pemilu di luar negeri sudah terlihat ketika terjadi kemerosotan jumlah pemilih luar negeri dalam Pemilu 2009 ini. Calon pemilih dari luar negeri dalam Pemilu tahun ini berjumlah sekitar 1,5 juta pemilih, berkurang sekitar 400.000 pemilih dari Pemilu 2004 yang berjumlah 1,9 juta calon pemilih. Kemerosotan jumlah pemilih luar negeri ini tentu sangat mengherankan karena data mobilitas buruh migran Indonesia ke luar negeri setiap tahun makin meningkat. Situasi ini memperlihatkan betapa hak-hak politik warga negera Indonesia yang berada di luar negeri (utamanya buruh migran Indonesia) diabaikan.



Migrant CARE juga menyesalkan sikap Komisi Pemilihan Umum yang mengkambinghitamkan kemerosotan jumlah pemilih di luar negeri karena status undocumented (tidak berdokumen) dari buruh migran Indonesia. Sikap ini jelas melecehkan hak politik buruh migran Indonesia. Dalam situasi apapun, buruh migran Indonesia harus mendapat hak politiknya untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2009.



Migrant CARE juga mendesak segera dibentuk Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (yang selama ini sangat lamban pembentukannya) dan adanya akses yang terbuka bagi Lembaga Independen Pemantau Pemilu untuk memantau pelaksanaan Pemilu di luar negeri. Pemantauan yang serius harus dilakukan untuk pelaksanaan Pemilu di luar negeri yang sangat rawan kecurangan dan pelanggaran karena dilaksanakan di negara lain.



Jakarta, 11 Maret 2009

Buruh Migran Perlindungan BMI Hanya Jadi Komoditas Politik Pemilu

Buruh Migran Perlindungan BMI Hanya Jadi Komoditas Politik Pemilu
(en) 3 Maret 2009 - 15:7 WIB
Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia, Jakarta - Selama tahun 2004 hingga 2009 upaya perlindungan terhadap buruh migran hanya dijadikan komoditas partai politik, calon legislatif, dan anggota legislatif. Tidak satu pun produk legislasi yang mengedepankan hak buruh migran dihasilkan pada periode terebut.

Seorang mantan buruh migran yang pernah bekerja di Singapura, Yanti, mengatakan janji caleg untuk memperbaiki nasib buruh, tidak pernah terwujud. “Mereka hanya melontarkan wacana. Seakan-akan menjanjikan perlindungan kepada kami, tapi kenyataannya nol,” kata Yanti dalam diskusi “Menyoal Agenda Partai Politik tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia”di Jakarta, Selasa (3/3).

Yanti berharap para calon legislatif yang terpilih pada Pemilu 2009 serius membuat undang-undang yang melindungi hak buruh migran.

Anggota Komisi III DPR Eva K Sundari mengatakan, pemerintah hanya melihat masalah buruh migran melalui sisi teknis ekonomis dan investasi. Padahal masalah buruh migran juga terkait masalah gender. Kurangnya perspektif hak asasi manusia dan perlindungan hukum membuat para pelaku kejahatan terhadap buruh migran lepas dari tuntutan pengadilan. “Semua masalah seolah selesai ketika mengembalikan buruh migran ke tanah air. Ini karena perbedaan cara pikir legislatif dengan pemerintah,” ujarnya.

Ketua Migrant Care Anis Hidayah menilai selama 2004-2009 anggota DPR tidak berupaya secara maksimal memberikan perlindungan terhadap sekitar 6,5 juta buruh migran. Padahal jumlah kasus kejahatan terhadap buruh migran terus meningkat.
“Kita meminta semua anggota parpol yang terpilih memiliki agenda (perlindungan buruh migran) serius. Kita akan mengajak buruh migran untuk tidak memilih, jika isu ini hanya jadi komoditas politik,” katanya.

Berdasarkan data Migrant Care, sekitar 73% jumlah buruh migran dilanggar haknya. Kasus penganiayaan Nirmala Bonat dan Daman Sara Damaia (2004) hingga terjebaknya Umi Saodah di tengah perang di Jalur Gaza (2009) menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. “Dari semua kasus itu, pemerintahan SBY sama sekali tidak berpihak terhadap buruh migran. Seakan ada upaya mem-peti es-kan kasus-kasus ini untuk kepentingan PJTKI. Ini soal kemanusiaan,” ujar Anis Hidayah. (E1)

Nasib Buruh Migran Belum Serius Diperhatikan

SUARA WARGA
Nasib Buruh Migran Belum Serius Diperhatikan
Rabu, 4 Maret 2009 | 05:15 WIB

Jakarta, Kompas - Meskipun diposisikan sebagai pekerja informal, buruh migran tetaplah manusia. Ia adalah subyek yang harus diperlakukan sama seperti manusia lain dan bukan ditempatkan atau diposisikan sebagai aset ekonomi belaka yang digelari sebagai pahlawan devisa.

Persoalan buruh migran adalah persoalan riil kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak layak dan tidak pantas menjadikan persoalan perburuhan, khususnya buruh migran, sebagai komoditas politik guna meraup dukungan. Penegasan itu kembali muncul dalam dialog publik yang digelar oleh Migrant Care, Selasa (3/3) di Jakarta.

Dialog itu sengaja digelar dengan mempertemukan beberapa calon anggota legislatif dengan pemerhati masalah perburuhan dan buruh migran. Hadir dalam dialog itu antara lain Eva K Sundari PDI Perjuangan, Nova Riyanti Yusuf dari Partai Demokrat, serta Aryo Judhoko dari PKS. Sebagai panelis, hadir Jaleswari Pramodhawardhani dari LIPI dan Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care.

Menurut Anis Hidayah, selama ini yang tampak adalah minimnya perhatian pemerintah, juga partai politik, kepada nasib buruh migran. Pemerintah SBY-JK tampak tenang ketika banyak buruh asal Indonesia di luar negeri diusir atau terbunuh.

Bahkan ada kasus, seperti terbunuhnya seorang TKI, tetapi Duta Besar RI untuk negara bersangkutan yang notabene berasal dari wakil partai justru tidak tahu. Bagi Anis, buruh migran masih ditempatkan sebagai aset ekonomi. Akibatnya, aneka kebijakan yang terkait buruh migran pun terkontaminasi pandangan tersebut. (JOS)

Activists Say The Current Government Has Failed Migrants

March 4, 2009 The Jakarta Globe
Activists Say The Current Government Has Failed Migrants

An advocate for the rights of migrant workers said on Tuesday that the lives of Indonesians working overseas had not significantly improved since the last elections.

Anis Hidayah, chairwoman of Migrant Care, said the government that emerged from the 2004 elections should have done more to improve the lives of migrant workers.

“The current government has not produced adequate legislation to protect migrant workers living overseas, who face problems such as violence and sexual abuse,” she said.

About 6.5 million Indonesians currently work overseas and 73 percent of them have had to deal with “violence, rights and sexual abuse problems,” Anis said.

Eva Kusuma Sundari, a legislator from the Indonesian Democratic Party of Struggle, or PDI-P, said the government needed to do more. “We need an organization that oversees efforts to protect the rights of migrant workers,” she said.

Part of the problem is that Indonesia has failed to respect the rights of workers at home, she said. “Foreign officials often ask me why Indonesia doesn’t have any laws to protect domestic workers,” Eva said.

“It is not the responsibility of nongovernmental organizations to protect migrant workers. These matters should be dealt with between national governments.”

Aryo Judhoko, a legislative candidate for the Prosperous Justice Party, or PKS, said the party offered a number of services to migrant workers. “We proposed a law on migrant workers and have urged the government to reform the insurance system for migrant workers,” Aryo said.

But Nova Riyanti Yusuf, a legislative candidate for the Democratic Party, said the government had protected migrants. “It has done a lot on migrant health issues,” she said. “Unhealthy workers can’t work abroad. Contrary to some claims, the government is not exploiting workers.”

Parpol Janjikan Perbaikan Perlindungan TKI

03/03/09 16:30

Parpol Janjikan Perbaikan Perlindungan TKI


Jakarta (ANTARA News) - Beberapa partai politik (Parpol) yang akan berpartisipasi dalam pemilihan umum (Pemilu) 2009 berjanji akan memperbaiki sistem perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Pada dialog publik tentang agenda partai politik dalam perlindungan buruh migran di Jakarta, Selasa, Eva Kusuma Sundari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan hingga kini regulasi yang ada di tingkat pelaksana belum bisa memberikan perlindungan yang dibutuhkan buruh migran.

"Undang-undang dan regulasi yang ada baru mengatur soal perekrutan, ruhnya pun masih eksploitasi," katanya.

Lembaga dan instansi yang bertugas mengurus masalah buruh migran, kata dia, juga belum menjalankan tugasnya dengan baik untuk melindungi mereka dari ketidakadilan dan kekerasan.

Oleh karena itu, Eva menjelaskan, partainya menyiapkan kerangka sistem perlindungan buruh migran komprehensif berdasarkan perspektif gender dan hak asasi manusia.

"Aturan-aturan yang tumpang tindih dan punya ruh sama, eksploitasi, akan dicabut. Dan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri juga harus direvisi," katanya.

Selain itu, ia menambahkan, PDIP juga akan memperjuangkan penerbitan undang-undang tentang penatalaksana rumah tangga.

"Karena selama ini kalau kita minta negara penerima memasukkan perlindungan terhadap buruh migran ke dalam peraturan mereka, kita selalu balik ditanya, apakah kita juga sudah memiliki ketentuan tentang ini," katanya.

Aryo Judhoko dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga mengatakan pihaknya telah dan selanjutnya berjanji akan memperjuangkan perbaikan nasib buruh migran dengan mempercepat proses penerbitan undang-undang yang mengatur tentang pekerja domestik.

"Kami juga akan berupaya mengubah bentuk pengelolaan asuransi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri karena selama ini penggunanya relatif sedikit dan pemanfaatan dananya tidak disampaikan secara transparan," katanya.

Sementara calon anggota legislatif dari Partai Demokrat Nova Riyanti Yusuf mengatakan pemerintah sudah berusaha mengatasi berbagai masalah terkait pekerja migran termasuk perekrutan, pelatihan, penempatan pekerja di negara penerima dan perlindungan bagi TKI.

"Tapi ini masalah yang sudah puluhan tahun terjadi, tentu tidak akan bisa diselesaikan secara instan. Yang sudah dilakukan mesti dilanjutkan dan diperbaiki," katanya serta menambahkan ke depan perlu lebih didorong pengiriman pekerja formal ke luar negeri.

Setya Dharma Pelawi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun mengatakan hingga saat ini sistem perlindungan TKI di dalam negeri belum baik dan harus diperbaiki. Namun ia tidak menjelaskan garis besar perbaikan yang mesti dilakukan.

Regulasi Belum Efektif

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan regulasi yang dihasilkan para anggota partai politik yang duduk di kursi legislatif selama ini belum bisa memberikan perlindungan yang dibutuhkan buruh migran.

"Komisi IX yang mengurus masalah ini juga hampir pasif memperjuangkannya dan tidak menggunakan perspektif hak asasi manusia dalam proses legislasi," katanya.

Pejabat tinggi pemerintah pun, katanya, belum melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan negara penerima buruh migran dari Indonesia untuk memastikan semua tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani pun mengatakan selama ini banyaknya regulasi yang mengatur tentang perlindungan TKI tidak berbanding lurus dengan peningkatan perlindungan bagi mereka.

Menurut dia, saat ini setidaknya terdapat 31 undang-undang, enam peraturan pemerintah, satu keputusan menteri, empat peraturan menteri dan 10 ratifikasi konvensi internasional terkait perlindungan tenaga kerja namun besaran masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri belum berkurang signifikan.

"Buruh migran masih terpinggirkan dalam hukum dan politik. Upaya perlindungan yang dilakukan belum optimal," katanya serta menambahkan negara seharusnya memberikan perlindungan yang bersifat kemanusiaan dan politik kepada buruh migran.

Perlindungan itu, menurutnya, antara lain bisa diberikan melalui pemberlakuan regulasi dan kebijakan yang tepat secara tegas.

"Tidak perlu bikin undang-undang lagi, revisi saja undang-undang yang sudah ada dan masukkan pengaturan soal pekerja domestik di dalamnya. Karena jangan-jangan kerentanan mereka akibat cara pandang kita yang salah termasuk dengan memisahkannya dari pengaturan yang ada tentang tenaga kerja," demikian Pramodhawardhani.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

Buruh Migran, Sejauh Mana Kepedulian Partai?

Kamis, 5 Maret 2009
Buruh Migran, Sejauh Mana Kepedulian Partai?
Jurnalis : Dewi Setyarini

JurnalPerempuan.com-Jakarta. Musim kampanye menjelang Pemilu 2009 ini bisa jadi dimanfaatkan oleh partai politik untuk menebar janji. Tapi janji yang akan diingat dan paling berjasa adalah yang punya visi jelas dan membawa perubahan. Sejauh mengenai nasib para pekerja di Luar Negeri atau biasa disebut buruh migran, belum ada perkembangan yang berarti soal penghargaan dan perlindungan terhadap mereka. Hal tersebut mengemuka dalam dialog publik Menyoal Agenda Partai Politik Tentang Perlindungan terhadap Buruh yang digagas oleh Migrant Care Selasa (3/3) di Jakarta.

Salah satu panelis dalam diskusi tersebut, Eva Sundari, yang juga menjadi calon legislator dari PDI Perjuangan menengarai permasalahan buruh migran yang tak kunjung selesai salah satunya disebabkan oleh mindset negara yang masih memandang buruh migran sebagai aset ekonomi. Maka penyelesaian masalahnya juga diawali dengan perubahan mindset negara. Partai Kebangkitan Bangsa yang diwakili oleh Setya Darma Pelawi berbicara mengenai perlunya pusat informasi sebagai salah satu upaya perlindungan buruh migran. PKS, menurut seorang calegnya, Aryo Judhoko, telah melakukan beberapa hal mengenai persoalan buruh migran, di antaranya membuka pusat informasi di beberapa negara. Sedangkan Partai Demokrat melalui seroang calegnya, Nova Riyanti Yusuf mengaku membutuhkan masukan mengenai apa yang seharusnya dilakukan untik mengatasi persoalan buruh migran.

Menanggapi uraian dari para panelis mengenai sikap masing-masing partainya terhadap persoalan buruh migran, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodawardani mengatakan, sesungguhnya kebijakan mengenai ketenagakerjaan sudah cukup banyak. Namun masing-masing kebijakan tersebut sama sekali tidak mempunyai semangat perlindungan dan penghargaan kepada orang-orang yang selalu digembar-gemborkan sebagai pahlawan devisa. “Peran negara selama ini sangat minimal,” ungkap Jaleswari.

Secara tajam, Anis Hidayah, Direktur Migrant Care mengkritik mindset partai politik yang hampir sama dengan mindset negara yaitu menempatkan buruh migran sebatas aset politik sehingga mengabaikan unsur penghargaan dan perlindungan haknya sebagai manusia, termasuk hak perekonomian maupun haknya sebagai seorang perempuan. Bagi Anis, kondisi demikian merupakan bentuk kegagalan legislasi. Terlebih banyak kasus buruh migran yang dipeti-es-kan, tidak ditindaklanjuti, seperti kasus Yanti Irianti, TKW yang dieksekusi mati di luar negeri tanpa diketahui duduk permasalahannya. Sampai kini, jenazah Yanti tidak kembali ke tanah air. Partai, pada kenyatannya. masih menjual janji tapi minim bukti. “Kalaupun punya pusat informasi, misalnya, mestinya tidak berfungsi untuk menginformasikan partainya belaka, tetapi juga harus menginformasi tentang ketenagakerjaan,” kata Anis.

Komitmen partai politik untuk menyelesaikan persoalan buruh migran akan menjadi bahan penilaian bagi masyarakat, sejauh mana kepekaan partai terhadap kepentingan masyarakat. Bagaimana dengan partai pilihan Anda?**

Rapor Merah Partai Politik Soal Buruh Migran

Rapor Merah Partai Politik

Jumat, 6 Maret 2009 | 03:46 WIB

Oleh Maria Hartiningsih


Rapor partai politik untuk isu-isu yang terkait dengan tenaga kerja, lingkungan hidup, dan kesejahteraan ibu dan anak merah. Selama lima tahun terakhir justru muncul banyak kebijakan yang berpunggungan dengan semangat perlindungan hak-hak rakyat yang paling asasi terkait dengan isu-isu itu.
”Dalam soal perlindungan buruh migran Indonesia, rapor partai-partai politik lima tahun terakhir ini merah semua,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam Dialog Publik yang diselenggarakan Migrant Care di Jakarta pekan lalu untuk menyoal agenda parpol tentang perlindungan terhadap buruh migran Indonesia.
Analis Kebijakan Perburuhan Wahyu Susilo merinci, dalam Pemilu 2004, sembilan anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan luar negeri terpilih karena suara buruh migran Indonesia (BMI).
”Ironisnya, tak satu pun dari mereka masuk ke komisi yang mengurusi masalah itu. Kalaupun masuk ke komisi lain, misalnya terkait dengan urusan luar negeri, mereka tidak mengartikulasikan diplomasi untuk perlindungan BMI,” ujar Wahyu.
Tak memadai
Selama periode tahun 2004-2009, menurut Anis, tak ada respons memadai dari para anggota Dewan terhormat terhadap kasus Nirmala Bonat, Daman Sara Damai (2004), Adi bin Asnawi, dan sederetan kasus ancaman hukuman mati, penyiksaan pekerja rumah tangga di Arab Saudi (2008), kasus trafficking di Irak (2008), Umi Saodah yang terjebak di Jalur Gaza (2009), eskalasi kasus-kasus kekerasan, trafficking, deportasi, dan ancaman pemutusan hubungan kerja massal akibat krisis global.
”Malah Yanti Iriyanti dari Cianjur yang dihukum mati di Arab saudi Februari tahun 2008 tak ada informasinya,” kata Anis, yang berbicara dalam panel bersama caleg dari PDI-P, PKB, PKS, dan Partai Demokrat, ”Ironisnya, ada instruksi presiden untuk membawa pulang jenazah, tetapi tidak dilakukan.”
Dalam dialog publik itu juga terkesan kuatnya notion ”demi partai”, bukan demi rakyat, tanpa kotak-kotak yang diciptakan untuk kepentingan politik golongan. Semua ini memperlihatkan kegagalan pendidikan politik dan masih dibutuhkan waktu untuk mencapai kematangan berpolitik.
”Dengan politik dagang sapi antara parpol, isu-isu yang terkait dengan buruh migran Indonesia hanya akan menjadi komoditas politik dan komoditas ekonomi,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Riwanto Tirtosudarmo, menggarisbawahi serangkaian produk legislasi terkait dengan BMI yang justru tidak memberi perlindungan hak-hak BMI.
Pandangan buruh migran sebagai komoditas terlihat dalam kebijakan pemerintah menaikkan target pengiriman buruh migran dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, kegiatan itu tampaknya tidak dianggap sebagai tindakan sementara sebelum pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
”Tahun lalu devisa sektor ini mencapai sekitar Rp 8,4 miliar dollar AS atau lebih Rp 100 triliun dari BMI yang sekitar 73 persennya perempuan,” ujar Anis dan Wahyu.
Juga merah
Di bidang lingkungan dan kesejahteraan rakyat, rapor parpol lima tahun terakhir ini juga sama saja. ”Pemerintahan SBY-JK, termasuk para anggota legislatif, lima tahun terakhir ini tak menunjukkan prestasi apa pun di bidang lingkungan,” kata aktivis lingkungan, Chalid Muhamad.
”Sebaliknya, DPR dan pemerintah malah menghasilkan produk legislasi yang memicu percepatan kerusakan lingkungan, seperti UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batu Bara, dan UU Perkebunan,” katanya.
Perubahan iklim hanya gegap gempita dibicarakan akhir tahun 2007. Setelah itu, menurut Chalid, tak ada kebijakan konkret untuk merespons masalah perubahan iklim. ”Malah lalu keluar peraturan antagonis, yaitu PP No 2 Tahun 2008, yang membolehkan hutan kita disewa Rp 300 per meter persegi untuk kegiatan apa saja.”
Selama lima tahun terakhir, ditengarai bencana ekologis terkait dengan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi. Seperti dikatakan Chalid, ”Lumpur Lapindo di Sidoarjo tak direspons secara maksimal oleh negara.”
Dalam Pemilu 2009 ini tak ada parpol yang secara eksplisit memperlihatkan kepeduliannya terhadap masalah lingkungan hidup. Ia melihat, dalam struktur dewan pimpinan pusat, ada empat atau lima parpol punya departemen lingkungan, tetapi platform-nya tak jelas.
Oleh karena itu, rakyat perlu berjuang lebih keras menyadarkan parpol betapa pentingnya masalah ini. ”Soal lingkungan hidup ini menyangkut soal keberlanjutan negara. Dimensinya sangat luas,” kata Chalid.
Pemahaman terbatas
Barangkali karena pemahaman politik yang terbatas, banyak politisi mengartikan politik sebagai kekuasaan untuk menguasai. Banyak dari mereka tak paham perspektif jender dan hanya segelintir anggota legislatif yang berjuang keras memasukkan perspektif itu dalam berbagai isu.
Hal ini terkait dengan pendapat Tini Hadad dari Koalisi Indonesia Sehat, yang menyatakan, tak ada parpol peduli soal angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta gizi bayi dan anak balita.
”Pemerintah bilang, AKI turun dari 307 menjadi 248 per 100.000 kelahiran hidup. Saya tidak tahu bagaimana menghitungnya karena nyatanya kondisi rakyat Indonesia tidak bertambah baik,” ujar Tini. AKI di Indonesia tertinggi di Asia dan faktor penting penyumbang rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.
Pakar perubahan perilaku, Dr Sri Kusyuniati, mengatakan, ”Tak ada parpol berani memaparkan strategi mengurangi AKI karena sulit, harus komprehensif, tak hanya soal teknis, dan terutama menyangkut pendekatan sosio-kultural.”

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03464680/rapor.merah.partai.politik

Pengkhianatan Anggota DPR-RI Yang Dipilih Dari Suara Buruh Migran

SIARAN PERS MIGRANT CARE
(Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat)

SUARA BURUH MIGRAN INDONESIA DIKHIANATI OLEH 9 ANGGOTA DPR-RI 2004-2009 DARI DAERAH PEMILIHAN DKI JAKARTA II

Berdasarkan hasil sidang Mahkamah Konstitusi 18 Juni 2004, maka Komisi Pemilihan Umum RI menetapkan 9 anggota DPR terpilih dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II, yang cakupan wilayahnya terdiri atas Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri. Nama-nama yang terpilih tersebut adalah:

1. Drs. H. Fahmi Idris (Partai Golkar, terpilih sebagai Menakertrans dan Menteri Perindustrian) dan kemudian digantikan Dra. Watty Amir yang berada di Komisi VII
2. H. Roy BB Janis, SH (PDIP, kemudian mengundurkan diri dan bergabung ke PDP) dan dikemudian digantikan Sabam Sirait yang berada di Komisi I
3. Hj Chudlory Syafei Hadzami (PPP) yang berada di Komisi I
4. H Husein Abdul Aziz (Partai Demokrat) yang berada di Komisi V
5. Indria Octavia Muaja (Partai Demokrat) yang berada di Komisi IV
6. Dr.M. Hidayat Nur Wahid, MA (PKS) yang menjadi Ketua MPR
7. Dra. Hj. Aaan Rohanah, M.Ag (PKS) yang berada di Komisi X
8. Constant M. Ponggawa, SH (PDS) yang berada di Komisi I
9. Ir. Afni Ahmad (PAN) yang berada di Komisi V

Berdasar politik konstituensi, sudah seharusnya nama-nama yang terpilih mewakili Daerah Pemilihan DKI Jakarta II yang mencakup wilayah luar negeri juga mengartikulasi kepentingan buruh migran sebagai pemilih di daerah pemilihan ini. Namun apakah artikulasi tersebut terwujud?

Berdasarkan tracking yang dilakukan oleh Migrant CARE sepanjang periode 2004-2009 ini, tidak ada satu tindakan politikpun yang dilakukan 9 anggota DPR-RI yang suaranya dipilih dari buruh migran berkontribusi positif terhadap perlindungan buruh migran Indonesia.

Yang paling nyata dan kasat mata adalah tidak ada satupun anggota DPR-RI yang terpilih dari suara buruh migran menjadi anggota Komisi IX yang membidangi masalah perburuhan.

Di komisi I yang membidangi masalah luar negeri, 3 anggota yang terpilih dari suara buruh migran juga tak bersuara sama sekali kasus Nirmala Bonat (2004), deportasi massal Malaysia (2005), eskalasi hukuman mati buruh migran (2006), kasus Ceriyati dan penganiayaan keji 4 buruh migran Indonesia di Saudi Arabia (2007), hukuman mati terhadap Yanti Iriyanti (2008) dan kasus Umi Saodah.

Di Komisi IV yang salah satu area kerjanya adalah bidang kelautan, tidak ada concern dari 1 anggota DPR RI yang dipilih dari suara buruh migran mengenai nasib pelaut Indonesia yang sering menghadapi masalah di luar negeri.

Di Komisi V dimana masalah perhubungan menjadi salah satu area kerjanya, juga tidak ada inisiatif yang signifikan dari 2 anggota DPR yang dipilih dari suara buruh migran, padahal persoalan buruknya pengelolaan angkutan TKI dan terminal pemulangan TKI adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan.

Di Komisi X, dimana maslah pendidikan dan pariwisata menjadi concernnya, terdapat 1 anggota DPR yang terpilih dari suara buruh migran. Namun demikian hingga saat ini tidak ada suaranya tentang kebobrokan sistem pendidikan terhadap calon buruh migran dan tak ada perhatian terhadap masalah perdagangan perempuan yang mengatasnamakan pengiriman duta budaya melalui jasa pengiriman entertainment (impresariat).

Selain itu, ada 1 anggota DPR yang dipilih dari suara buruh migran berada di Komisi VII yang membidangi masalah energi, teknologi dan lingkungan hidup. Keberadaannya di Komisi ini semakin memperlihatkan ketidakpeduliannya pada masalah buruh migran Indonesia yang seharusnya diartikulasikannya.

Dari suara buruh migran Indonesia, bahkan muncul anggota DPR yang menjadi Ketua MPR RI, namun dalam posisinya sebagai salah satu pejabat tinggi negara tidak pernah memaksimalkan posisi politiknya untuk diplomasi politik perlindungan buruh migran Indonesia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh anggota DPR RI yang dipilih dari suara buruh migran Indonesia tidak ada yang memenuhi kewajibannya mengartikulasikan kepentingan politik pemilihnya. Anggota DPR RI yang dipilih dari suara buruh migran Indonesia telah mengkhianati amanat buruh migran Indonesia.


Jakarta, 3 Maret 2009

Sabtu, 14 Maret 2009

Parpol Lemah Lindungi Pekerja Luar Negeri

Parpol Lemah Lindungi Pekerja Luar Negeri

www.sinarharapan.co.id

Jakarta - Partai politik masih belum serius menempatkan agenda perlindungan terhadap buruh migran. Hal ini terbukti dari lemahnya produk legislatif terhadap perlindungan para pekerja di luar negeri ini.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan selama ini apa yang dihasilkan legislatif belum bisa melindungi para pekerja di luar negeri.
“Mereka (DPR) diharapkan memberikan perlindungan, tetapi nyatanya hak-hak yang mereka miliki seperti interpelasi tidak pernah digunakan untuk mengupayakan perlindungan,” kata Anis, dalam diskusi “Menyoal Agenda Partai Politik tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Selasa (3/3).
Dia menilai, sikap legislatif tersebut merepresentasikan partai politik yang tidak peduli terhadap masalah buruh migran. Bahkan, dia mencatat anggota DPR yang terpilih dari dapil luar negeri pun tidak pernah berbicara soal advokasi terhadap buruh migran.
Anis menyerukan para buruh migran tidak memilih caleg atau calon presiden yang tidak memiliki agenda perlindungan terhadap buruh migran. Buruh migran tidak boleh lagi menjadi komoditas politik, yang suaranya hanya dibutuhkan menjelang pemilu saja.
Apalagi jumlah buruh migran Indonesia mencapai 6,5 juta orang. “Mereka membutuhkan kepedulian, kepastian dan perlindungan hukum,” ujarnya.
Pengamat buruh Wahyu Susilo juga mencatat dari sembilan anggota DPR yang dipilih suara Tenaga Kerja Indonesia tidak ada yang berbicara soal buruh migran. “Banyak masalah, tetapi caleg yang disokong suara TKI justru tidak peduli dan tak pernah mengambil inisiatif untuk melindungi konstituennya,” katanya.
Menurutnya, sikap DPR tersebut membuat buruh merasa dikhianati. “Kita gak ingin itu terulang lagi,” ujarnya.
Anggota Advokasi terhadap buruh migran di DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan kelemahan perlindungan terhadap buruh migran bermuara dari regulasi yang dilakukan pemerintah. “Rohnya bukan untuk melindungi, justru mengeksploitasi,” ujarnya. (vidi vici)