Jumat, 17 Juli 2009

Migran Care Laporkan Pelanggaran Pilpres 2009 di Tiga Negara ke Bawaslu

JAKARTA | SURYA Online - Perhimpunan Indonesia Untuk Buruh Migran Berdaulat (Migran Care), melaporkan dugaan pelanggaran pemilu presiden (Pilres) 2009 di tiga negara Malaysia, Singapura dan Hong Kong, ke kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Direktur Eksekutif Migran Care, Anis Hidayat usai melaporkan data pelanggaran ke kantor Bawaslu Jakarta, Jumat (17/7), mengatakan, hasil pemantauan timnya, penyelenggaraan Pemilu 8 Juli 2009 tidak maksimal mengakomodasi hak pilih buruh migran.

Menurutnya, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pemilu legislatif sama sekali tidak mencerminkan jumlah buruh migran Indonesia. Jumlah DPT Pilpres mencapai 1.137.738 pemilih, sementara jumlah buruh migran sekitar 6,5 juta orang.

“Jumlah DPT itu pun, masih sangat bermasalah antara lain DPT Hong Kong masih ditemukan pemilih ganda sejumlah 7.858 pemilih, DPT Singapura 25.708 nama ganda. Hal ini tidak sebanding dengan anggaran sebesar Rp3,8 triliun,” papar Anis.

Anis juga mngatakan, dengan banyaknya pelanggaran tersebut, pemerintah dalam hal ini penyelenggara pemilu tidak mampu mengupayakan pemilihan secara langsung untuk semua buruh migran di Indonesia secara serentak.

Padahal, lanjutnya, Departemen Luar Negeri (Deplu) telah membentuk pokja khusus, namun realitas menunjukkan bahwa perwakilan RI di semua negara tujuan buruh Indonesia gagal bernegosiasi dengan negara tujuan.

Negara tujuan tidak menjamin buruh migran Indonesia untuk menyampaikan hak politiknya pada Pilpres 2009, kata Anis.

Anggota Bawaslu yang dicoba dihubungi terkait pelaporan Migran Care belum birhasil ditemui, namun staf bagian pendataan Bawaslu, Ilun membenarkan telah menerima laporan pengaduan dari salah satu LSM tersebut. ant

Sumber: Surya Online

http://www.surya.co.id/2009/07/17/migran-care-laporkan-pelanggaran-pilpres-2009-di-tiga-negara-ke-bawaslu.html



Rabu, 15 Juli 2009

Klaim Partisipasi Contreng Pilpres Capai 61 Persen

NUNUKAN-Partisipasi warga di Pemilihan Presiden di perbatasan Nunukan tidak hanya kurang sosialisasi, namun warga juga dinilai apatis. Selain kurang sosialisai karena keterbatasan anggaran, ada indikasi warga sudah terbiasa denga politik uang di pesta politik sebelumnya.

Hasil temuan Tim Relawan Pemantau Pemilu Pilpres 2009, Migrant CARE yang berada di perbatasan Nunukan lainnya sangat beragam. Masih banyak lagi temuan lainnya termasuk pelanggaran yang terjadi di beberapa TPS di Nunukan yang kemarin (14/7), disampaikan langsung dalam hearing dengan Ketua KPU Muhammad Sain di Kantor KPU Nunukan.

Muhammad Sain ketika bertemu tim Migrant CARE juga membenarkan bahwa partisipasi warga Nunukan di Pilpres 2009 sangat rendah. Namun ia menolak jika angka rendahnya partisipasi mencapai 30 persen, seperti yang dilansir media belum lama ini. kepada tim Migrant CARE, ia menyodorkan data angka sebesar 61% tingkat partisipasi warga seluruh Nunukan. “Ini masuk hitungan sementara karena besok (hari ini) masih ada revisi,” jelas Sain.

Ia juga menyebutkan bahwa sosialisasi telah dilakukan secara maksimal meski dengan dana terbatas. Namun diakuinya, sosialisasi Pilpres ini memang tidak menyentuh ke seluruh wilayah Nunukan karena keterbatasannya dana. “Pilpres ini kan isu nasional, sehingga warga juga terkesan apatis,” kata Sain.

Prilaku money politic sebagai sebab apatisnya masyarakat juga dibenarkan Sain. “Adanya prilaku tersebut yang imbas dari Pileg lalu, berakibat buruknya pada partisipasi warga Nunukan di Pilpres ini,” ujarnya.

Migrant CARE adalah pemantau pemilu Luar Negeri yang diakreditasi KPU dan terikat MoU dengan Bawaslu. Masuk dari Nunukan untuk memantau pelaksanaan pemilu luar negeri di wilayah Sabah. Tim Koordinator Migrant CARE di Sabah Benhard Nababan mengatakan, pihaknya juga melakukan pemantauan di perbatasan seperti Nunukan, karena misi Migrant CARE ikut mengawal hak politik buruh migran di Pilpres 2009.

Di wilayah Sebatik, tim pemantau juga menemukan hampir 40 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, yakni dari kawasan Lordes dan Aji Kuning. Umumnya warga di dua wilayah ini adalah pekerja migran di perkebunan Malaysia yang berangkat pagi dan kembali ke petang ke Indonesia. Letak desa ini memang tak jauh dari perkebunan-perkebunan Malaysia. Namun, di perkebunan tersebut, mereka juga tidak terdata oleh PPLN (Panitia Pemilu Luar Negeri).

Menanggapi hal ini, Sain mengaku pernah mengimbau warga Nunukan yang bekerja di perkebunan untuk proaktif mendaftar di PPLN. “Inilah kendala kami di perbatasan ini sangat komplek,” keluhnya.

Beberapa pengaduan pelanggaran dari Migrant CARE seperti adanya anak di bawah umur yang dilibatkan sebagai panitia pemilu di TPS 10 Kampung Tanjung, direspon Sain. Adanya anak di bawah umur yang dilibatkan sebagai panitia pemilu, temuan bilik suara yang tidak steril di TPS 14 Kampung Tanjung. Tak luput juga laporan pertemuan di salah satu markas partai pendukung salah satu pasangan Pilpres melakukan pertemuan hingga pukul 22.00 Wita pada satu hari sebelum pecontrengan yang notabene merupakan tahapan hari tenang. Pertemuan tersebut dihadiri para kader dan juga pimpinan parpol tersebut. “Itu jelas merupakan pelanggaran berat.Akan kami lanjuti,” tegas Sain. (*/-mc/ash)

Sumber: RADAR TARAKAN

http://www.radartarakan.com/berita/index.asp?Berita=POLITIK&id=155994


Rabu, 15 Juli 2009
Pemilih Sabah Hanya 18,4 Persen
Panwas LN Tak Kawal Surat Suara, Rawan Dimanipulasi

TAWAU- Pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) di Malaysia Timur (8/7) lalu masih jauh dari harapan. Migrant CARE yang mengawal hak politik Buruh Migran Indonesia (BMI) –biasa disebut TKW- sebagai pemantau pemilihan presiden luar negeri melihat bahwa mekanisme pemilu di luar negeri yang sudah berlangsung, masih tidak efektif dan perlu dikaji ulang hingga menghasilka legislasi yang kuat untuk perlindungan hak politik BMI.

Distribusi surat suara terbesar melalui pos antar di Pilpres (8/7) lalu tidak hanya berjalan tidak hanya lamban. Namun juga tanpa pengawasan.

Ketua Koordinator Tim relawan Migrant CARE wilayah Sabah, Benhard Nababan mengutarakan, Panwaslu seharusnya terlibat langsung melakukan pengawasan mulai dari distribusi surat suara bias sampai ke tangan para buruh Indonesia, memastikan hingga surat suara benar-benar sampai dan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak politik buruh. Distribusi tanpa pengawalan, lanjutnya, tidak hanya wujud pengabaian negara, namun juga sangat rentan manipulasi. Kemungkinan itu terbuka lebar apabila oknum-oknum berkepentingan dari salah satu pasangan calon berhasil mengakses.

“Jumlah paling besar justru suara yang melalui pos antaran. Ini saja sudah menggelitik kita. Apalagi distribusinya ternyata hanya lewat kantor pusat di kota, tidak langsung ke estate atau ke pabrik tempat warga Indonesia bekerja. Penerima awal surat suara juga manajer yang nota bene orang Malaysia. Dari manajer baru kemudia diturunkan ke mandor untuk disampaikan ke BNI yang bekerja di masing-masing estate. Semua prosedur dilalui tanpa ada pengawasan dari Panwas LN. Kalau Panwas LN tidak terlibat, lantas siapa yang seharusnya terlibat,” ungkapnya.

Apalagi, kata dia, jumlah suara yang diantar melalui pos mencapai 63.804 suara. Jumlah ini sangat signifikan mengingat berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Sabah-Malaysia mencapai 76.133 orang. Sebanyak 12.329 memilih di 10 tempat pemilihan suara (TPS-LN) yang disediakan. Kinabalu 5 TPS-LN dan 5 TPS-LN di Tawau. Selebihnya memilih lewat pos yang disebar di 275 lokasi yang mayoritas adalah daerah Estate/Perkebunan.

Tim yang disebar di seluruh Kinabalu dan Tawau mengantongi data 2.264 orang pemilih yang menggunakan hak politiknya. Kinabalu 1.480-orang dan Tawau 784 orang. Praktis, angka partisipasi masyarakat migran Indonesia di seluruh TPS-LN Sabah hanya mencapai 18,4%.

Minimnya partisipasi masih saja disebabkan oleh faktor-faktor lama. Karena passport di tangan majikan, tidak diperkenankan keluar hingga tidak tersentuhnya sosialisasi pemilu. Dalam perjalanan kembali melalui Tawau, Tim Migrant CARE juga menemukan ratusan buruh di estate yang tidak mengetahui kapan tanggal dilaksanakan pemilu dan siapa yang dicalonkan.

Dalam investasi langsung di kantong-kantong BMI, Tim Migrant CARE juga menemukan bahwa pekerja kebun tidak bisa mencontreng pada tanggal yang ditentukan karena surat suara dari pos antar belum sampai ke estate atau kilang tempat mereka bekerja. Procedural, surat suara seharusnya sudah sampai H-2. Hingga pukul 09.00 (8/7), hasil cross check di estate Dumpas –sebuah nama perusahaan perkebunan di Tawau- ternyata surat suara belum sampai tujuan. Diperkirakan paling cepat keesokan harinya (9/7) baru diterima mandor.

Temuan baru juga diperoleh dari sumber kompeten di dalam estate dan kilang. Bahwa proses distribusi serupa juga terjadi pada masa Pileg lalu. Bahkan di titik inilah suara rawan digelembungkan. Menurut sumber tersebut, di setiap Pemilu di Luar Negeri satu kepala mencontreng 3 atau lebih suara adalah hal biasa. Kemungkinan hal serupa bisa terulang di Pilpres.

“Kita punya datanya dan saksi-saksi siap memberi keterangan,” jelas Benhard.

Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi di Tempat TPS-LN. Tidak ada saksi dari masing-masing calon, pengawasan yang minim, penggelembungan suara juga terjadi di hampir setiap estate, hingga sosialisasi yang tak menyentuh ke akar rumput. Tim relawan Migrant CARE yang memantau Pilpres Luar Negeri 2009 melaporkan, pelanggaran nyaris merata di seluruh Sabah.

Hasil pantauan di beberapa TPS juga tidak kalah mencengangkan. Intervensi baik pemerintah maupun oknum tertentu terhadap hak politik warga masih terlihat mencolok. Beberapa suara yang dicontreng dengan cara membubuhkan tandatangan pada gambar calon pun disyahkan lantaran suara diberikan pada calon tertentu. Tertangkap pula intervensi oknum berkepentingan pada calon tertentu yang dilakukan terang-terangan di bilik TPS. Oknum yang juga dikenali oleh tim Migrant CARE sebagai WNI yang memegang IC Malaysia itu tanpa sungkan-sungkan masuk ke bilik suara bersamaan dengan pemilih. Tim pemantau juga mendapati 2 pemilih wanita yang datang ke TPS-LN menggunakan nama orang tua laki-lakinya. Mereka mencontreng tanpa mendapat teguran dari petugas.

“Kita tahu bahwa hanya cacat saja yang ada dalam ketentuan undang-undang, diperbolehkan menunjuk pendamping di bilik suara,” imbuh Benhard. Benhard juga menyebut, pihaknya sempat mengkonfirmasikan semua pelanggaran-pelanggaran yang ada di lapangan. Baik dengan pihak Konsulat Indonesia, Panwas LN maupun ke KPPLN di Sabah langsung.

Menurut KPPLN, sosialisasi telah dilakukan pada Sabtu-Minggu dan disiarkan pula di TV Malaysia. Petugas juga bertemu langsung pekerja di perkebunan, melakukan presentasi ke publik. Harun, KPPLN Tawau menyebut pihaknya juga bekerjasama dengan pemerintah melalui Majelis Perbandaran Tawau. Namun diakui masih ada saja kendala pendataan seperti tenaga harian lepas, pekerja berpindah-pindah. PPLN juga mengakui bahwa dana tersedia. Jika kemudian hingga 8/7 BMI di perkebunan belum memilih karena PPLN medan yang terlalu luas sedang tenaga panitia terbatas.

Pengiriman lewat pos sebenarnya merupakan alternatif untuk menyiasati kebijakan Malaysia yang tidak mengijinkan mendirikan TPS di estate-estate. TPS yang dibentuk pun berdasar instruksi KPU untuk memperbanyak partisipasi dan menjaga supaya tidak banyak kartu suara yang rusak. Menurut Harun, KPU juga telah menentukan pengecualian untuk pekerja kebun supaya bisa menggunakan hak pilihnya hingga tenggang waktu 10 hari setelah pemilu yang dijadwalkan.

Dari hasil pantauan di Sabah, perolehan suara sementara (menunggu hasil penghitungan suara pos antaran), unggul pasangan SBY-Boediono dengan 991 suara, disusul pasangan JK-Wiranto dengan 613 suara, dan pasangan Mega-Prabowo memperoleh 553 suara. Untuk suara sah mencapai 2.157 suara, yang diakomodir dari Kota Kinabalu dengan suara sah sebanyak 1.383 suara, dan Tawau sebanyak 774 suara sah. Sementara surat suara tidak sah sebanyak 107 suara (Kota Kinabalu: 97 suara, Tawau: 10 suara).

Hingga kemarin (14/7), perhitungan suara untuk pos antara dari masing-masing estate belum juga sampai di Tawau. Sehingga keunggulan SBY-Boediono ini masih bersifat sementara. (*/ash)

Sumber: RADAR TARAKAN

http://www.radartarakan.co.id/berita/index.asp?Berita=POLITIK&id=155996


Selasa, 07 Juli 2009

Daftar Pemilih Luar Negeri Merosot

Senin, 06 Juli 2009 17:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Catatan Migrant Care Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri untuk pemilihan presiden justru merosot dibanding pemilihan legislatif. "Masih juga ditemukan nama ganda dan pemilih fiktif," tulis Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam rilis yang diterima Tempo, Senin (6/7)Daftar Pemilih Tetap untuk 8 Juli mendatang turun 338.105 pemilih menjadi 1.137.738 orang. Migrant Care juga menemukan nama ganda sebanyak 25.708 jiwa dan 10 pemilih fiktif di Singapura. "Masalah daftar pemilih ini tak sebanding dengan anggaran pemutakhiran,"Anis mengeluhkan.Pemerintah, kata Anis, menyediakan dana untuk pemutakhiran data pemilih luar negeri sebanyak Rp 3.811.518.000.Pada pemilihan presiden mendatang, Migrant Care bersama Badan Pengawasan Pemilu akan mengawasi pemilihan di Malaysia, Singapura dan Hongkong. "Kami akan fokus pergerakan dropping box dan pengirimna surat suara," imbuh Anis.Di Indonesia, Migrant Care akan pengawasi pemilihan di penampungan tenaga kerja luar negeri dan pintu transit di Nunukan, Kalimantan Timur. DIANING SARI

MK : Pakai KTP Boleh Nyotreng di Wilayah Sesuai Alamat KTP

Senin, 06 Juli 2009 17:50 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan membolehkan pemilih menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan Kartu Tanda Penduduk dan paspor yang masih berlaku untuk ikut menyontreng dalam Pemilihan Presiden, Rabu, 8 Juli 2009, lusa. Penggunaan KTP boleh dilakukan dengan syarat KTP masih aktif, melampiri bukti dengan membawa Kartu Keluarga (KK) dan hanya boleh digunakan untuk menyontreng di wilayah alamat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) sesuai dengan alamat yang tercantum dalam KTP. Syarat lain, proses pencontrengan hanya boleh dilakukan pada masa satu jam sebelum jam penutupan pemilihan di Tempat Pemungutan Suara tersebut. Demikian juga penggunaan Paspor bisa digunakan untuk memilih di Tempat Pemungutan Suara di luar negeri, sesuai tempat dia sedang berada, dan maksimal dilakukan 1 jam sebelum waktu pemungutan suara berakhir.Demikian bunyi keputusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin langsung oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed MD, di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (6/7).Keputuasan ini berarti mengabulkan tuntutan dua pasangan calon presidendan wakil presiden Megawati-Prabowo dan JK-Win yang mengajukan gugatan pelaksaan pemilihan presiden pada Rabu, 8 Juli 2009 mendatang, yang meminta agar MK mengabulkan permintaan agar KTP dapat digunakan sebagai bukti pemilih, bagi para pemilih yang tidak terdaftar.WAHYUANA

Senin, 06 Juli 2009

Statement Migrant CARE: Pilpres 2009 di Luar Negeri Rawan Masalah, Migrant CARE akan awasi Pemilihan Presiden RI di Malaysia, Singapura dan Hongkong

Tiga bulan pasca penyelenggaraan PEMILU legislatif lalu, KPU diharapkan dapat maksimal melakukan perbaikan atas karut marut penyelenggaraan Pemilu Legislatif 9 April 2009. Masalah itu mulai dari problematika DPT yang berdampak pada hilangnya hak politik warga negara Indonesia secara massif, pelanggaran-pelanggaran PEMILU serta inkonsistensi KPU terhadap kebijakan yang mereka buat sendiri. Namun KPU nampaknya tidak maksimal menggunakan waktu 3 bulan tersebut untuk belajar dan berbenah, sehingga persoalan DPT tidak dituntaskan dan penyelenggaraan Pilpres 2009 diprediksi kuat akan menuai masalah sebagaimana terjadi pada PEMILU Legislatif lalu.

Persiapan penyelenggaraan Pilpres di luar negeri hingga kini belum juga menunjukkan adanya progress yang positif. DPT LN (Luar Negeri) pada Pilpres 2009 bahkan jumlahnya makin merosot: 1.137.738 pemilih (mengalami penurunan sejumlah 338.105 pemilih, dari DPT pada Pileg 1.475.847). Selain itu, berdasar penelusuran Migrant CARE juga masih ditemukan nama ganda sejumlah 25.708 pemilih serta 10 pemilih fiktif pada DPT Singapura. Persoalan seputar data pemilih ini tidak sebanding dengan jumlah anggaran untuk petugas pemutakhiran data pemilih LN (PPDPLN) yang mencapai 3.811.518.000 Rupiah.

Selain persoalan DPT, Pilpres 2009 di luar negeri diindikasikan juga akan mereplikasi atau mengulangi pelanggaran-pelanggaran yang sama yang terjadi pada Pileg, antara lain menyangkut pergerakan dropping box serta pengiriman surat suara melalui pos yang rentan terhadap kecurangan karena minimnya pengawasan.

Merespon persoalan tersebut, Migrant CARE bekerjasama dengan Bawaslu akan melakukan pengawasan Pilpres 2009 di Malaysia (Kualalumpur, Johor Bahru, dan Sabah), Singapura, Hongkong, Nunukan serta penampungan PJTKI di Jakarta.

Dalam pengawasan tersebut, Migrant CARE akan berkonsentrasi pada bagaimana buruh migran dapat menggunakan hak politiknya secara layak dan bagaimana penyelenggara Pemilu di luar negeri atau PPLN melakukan tanggung jawabnya untuk memenuhi hak politik buruh migran tersebut. Selain itu, Migrant CARE juga akan fokus pada titik-titik rawan pelanggaran, antara lain pengawasan pergerakan dropping box dan pengiriman pos.

Jakarta, 6 Juli 2009

Jutaan TKI Terancam Kehilangan Suara

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/06/03385946/jutaan.tki.terancam.kehilangan.suara
Senin, 6 Juli 2009 03:38 WIB

Jakarta, Kompas - Seolah mengulang persoalan pada pemilu legislatif lalu, jutaan tenaga kerja Indonesia yang tersebar di sejumlah negara diperkirakan akan kehilangan suara mereka dalam pemilu presiden pada 8 Juli 2009.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Minggu (5/7) di Jakarta, mengatakan, hilangnya suara TKI antara lain disebabkan kurang maksimalnya sosialisasi pemilu presiden.

Tak hanya itu, pemilu sebagai sebuah refleksi politik dinilai oleh sebagian TKI tidak lagi berdampak pada mereka. Menurut Anis, selama ini TKI menilai, siapa pun politisi yang terpilih, mereka kurang memberikan perhatian dan pelayanan yang maksimal kepada TKI.

Berdasarkan pantauan Migrant Care dalam pemilu legislatif lalu, sekitar lima juta warga Indonesia di luar negeri kehilangan suara mereka. Sebagian besar di antara mereka adalah TKI. Anis mencontohkan, dari 98.000 warga yang tercantum dalam daftar pemilih tetap di Singapura, hanya sekitar 17.000 warga yang memilih.

Hal serupa terjadi di beberapa negara yang dipantau Migrant Care, di antaranya Malaysia dan Hongkong. Tentu dengan minimnya pemilih, Migrant Care menduga akan terjadi kecurangan pada pemilu presiden kali ini.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ridha Saleh, menyayangkan sikap Komisi Pemilihan Umum yang melihat tidak terdaftarnya sejumlah calon pemilih sebagai masalah administrasi belaka. (jos)

Jumat, 03 Juli 2009

PENGAWASAN Bawaslu Gandeng 6.500 Relawan

Jumat, 3 Juli 2009 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Untuk mengoptimalkan pengawasan pemilu presiden, Badan Pengawas Pemilu menggandeng 6.500 relawan dari 12 lembaga pemantau. Mereka difokuskan untuk membantu mengawasi tahapan pemungutan dan penghitungan suara.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini saat penandatanganan nota kesepahaman pemantauan pemilu di Jakarta, Kamis (2/7), mengakui, jumlah pengawas pemilu lapangan (PPL) terbatas, tak sebanding dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang harus diawasi. Jumlah TPS pilpres mencapai 451.182 TPS, tetapi PPL hanya 76.749 orang.

Berarti setiap PPL secara rata-rata nasional mengawasi enam TPS. Di beberapa daerah kondisinya lebih parah lagi. Di Riau, seorang PPL mengawasi 89 TPS.

Relawan itu disebar ke 130 kabupaten/kota di 33 provinsi. Setiap kabupaten/kota dipantau 50 relawan dengan tugas pemantauan satu TPS oleh satu relawan. Relawan itu berasal dari berbagai organisasi.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, pemantauan di luar negeri akan difokuskan pada pemberian suara lewat kotak antaran (drop box) dan melalui jasa pos. Pemberian suara melalui cara itu rawan dimanipulasi petugas karena lemahnya pengawasan.

Anis juga mendesak agar calon tenaga kerja Indonesia (TKI) di tempat penampungan milik perusahaan pengerah di Jakarta dapat memberikan suaranya. Karena itu, perlu dibangun TPS di dekat penampungan TKI itu.

Secara terpisah, Kamis di Jakarta, tim pasangan calon presiden-wakil presiden sudah menyiapkan saksi untuk diterjunkan pada Pemilu Presiden 2009. Saksi ini akan mengawasi pemungutan suara sampai penghitungan suara di TPS, dan rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.

Seluruh tim pasangan mengaku melatih khusus saksi yang terdiri dari kader partai pendukung pasangan capres/cawapres. Keberadaan saksi penting untuk mengantisipasi kecurangan yang bisa terjadi. (mzw/idr)

Sumber: KOMPAS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/03/03213272/bawaslu.gandeng.6.500.relawan

Bawaslu Gandeng Pemantau Pemilu untuk Awasi Pilpres 2009

Bawaslu-Jakarta, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tinggal beberapa hari lagi. Guna memperkuat fungsi pengawasannya, Bawaslu menggandeng 8 Pemantau Pemilu untuk ikut serta dalam mengawasi Pilpres 2009 yang akan berlangsung pada 8 Juli nanti. Dengan dukungan organisasi Pemantau Pemilu ini, diharapkan beban tugas Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) bisa lebih ringan.
Kerjasama Bawaslu dengan 8 Pemantau Pemilu ini diwujudkan dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding atau nota kesepahaman yang dilaksanakan di Hotel Grand Sahid Jl. Jenderal Sudirman Jakarta pada Kamis (02/07/2009). Kedelapan Pemantau Pemilu yang menandatangani nota kesepahaman ini adalah: Pengurus Besar HMI, Pengurus Alumni GMNI, Migrant Care, Masika ICMI, PMII, Komite Pemantau Pemilu Indonesia (TEPI), Pattiro, serta Pemuda Muhammadiyah.
Dalam sambutannya usai penandatanganan nota kesepahaman, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengatakan, dukungan dari Pemantau Pemilu sangat diperlukan guna membantu tugas pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara berjenjang dari Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan hingga Pengawas Pemilu Lapangan.
“Pengawas Pemilu itu jumlahnya tidak banyak, dan tidak bisa mengcover banyak hal. Tugasnya sungguh besar karena harus mengawasi perlengkapan Pemilu dan distribusinya. Selain itu juga mengawasi persiapan pemungutan suara hingga rekapitulasi hasil pemungutan suara. Karena itulah, dibutuhkan dukungan dari Pemantau Pemilu,” tegas Nur Hidayat Sardini.
Nur Hidayat Sardini menjelaskan, dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden nanti, akan ada 451.182 TPS dengan jumlah pengawas sebanyak 76.749 yang tersebar di tingkat desa dan kelurahan. Bila dibandingkan antara jumlah TPS dan pengawas yang ada, maka satu orang PPL bertugas mengawasi 6 TPS. Dengan rasio seperti itu, maka bisa dipastikan tugas PPL akan sangat berat.
“Di daerah Gunung Kidul, bahkan seorang PPL harus mengawasi 50 TPS. Ini kan sesuatu yang tidak mungkin. Belum lagi jika PPL harus berbeneturan dengan masalah teknis lain. Seperti, apakah formulir C-1 bisa diserahkan tepat waktu dan lain-lain,” jelasnya.
Atas dasar itulah, lanjut Nur Hidayat Sardini, Bawaslu merasa perlu menjalin sinergi dengan sejumlah organisasi Pemantau Pemilu untuk menutupi kekurangan yang dimiliki petugas PPL.

Sumber: BAWASLU

http://www.bawaslu.go.id/Beranda/tabid/72/mid/389/newsid389/229/Default.aspx