Kamis, 29 Januari 2009

NGO Says Millions of Migrants Can’t Vote

January 29, 2009

An expert on migrants alleged on Wednesday that more than five million Indonesians eligible to vote in upcoming elections have not been registered.
Anis Hidayah, director of Migrant Care, said his organization had requested that the General Elections Commission, or KPU, give these eligible voters the right to participate.
“We want the commission to respect the rights of these voters,” she said, adding that most of the unregistered voters were in Malaysia.
Indonesia will hold legislative elections this April and a presidential election in July.
Bambang Eka Cahya Widodo of the Elections Supervisory Board, or Bawaslu, said funding problems might have limited the KPU’s efforts to register such migrant workers.
“Poor registration of overseas voters was due to the late disbursement of funds,” he said. “Even though the funding was adequate, it was less effective as it came late.”
KPU member Andi Nurpati said the commission would not re-open the registration of overseas voters.
“We have already finished the registration stage,” she said, adding that unregistered migrants were likely illegal workers.
“If the workers have work permits, they must have been registered at Indonesian embassies abroad. If they are registered at the embassies, they’re automatically registered as voters,” she said.
“For sure there might be problems such as workers who are highly mobile. When they move to other places and forget to report their new address we cannot register them,” she added. “In that case, it is not our fault.”
Besides the high number of unregistered voters, Migrant Care also complained to Bawaslu that voting carried out overseas was prone to vote rigging.
“There is no guarantee that registered voters will be able to use their voting rights properly,” Anis said.
According to her, posting ballot papers was not effective as many failed to arrive at their destinations on time and were prone to manipulation.
“The supervision mechanism for overseas voting is lacking,” she said.
Bambang said that Bawaslu had reminded KPU to pay more attention to the overseas voting process.
“We’ve warned KPU that there are a lot of potential problems in overseas voting,” he said.
“The main problem is one of supervision, as voters are scattered in many different regions all over the world. Meanwhile, the number of election monitors is limited,” he said.

Rabu, 28 Januari 2009

Bawaslu: Waspadai Dubes Partisan

Thursday, 29 January 2009
JAKARTA (SINDO) – Migrant Care mensinyalir pelaksanaan Pemilu 2009 di luar negeri akan diwarnai berbagai kecurangan.
Analis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, ada indikasi kecurangan oleh oknum duta besar (dubes) luar negeri untuk memobilisasi suara tenaga kerja Indonesia untuk diarahkan ke partai tertentu.Apalagi, rata-rata Dubes Indonesia untuk luar negeri merupakan kader partai politik (parpol). ”Sebagai pejabat negara, seharusnya mereka tahu kapan berperilaku sebagai wakil pemerintah dan kapan bertindak sebagai orang parpol. Karena itu,mereka harus diawasi jangan sampai mereka berlaku sebagai utusan parpol,” kata Wahyu saat menemui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Gedung Bawaslu,Jakarta,kemarin. Wahyu mengatakan, ada indikasi dubes mengarahkan para buruh migran untuk memilih partai tertentu.Apalagi, ujar dia, saat Pemilu 2004 lalu hal ini sudah terbukti. ”Jangan sampai praktikpraktik ini kembali terulang di Pemilu 2009. Pemilu 2004 yang jauh dari keterbukaan harus menjadi pelajaran berharga buat kita,”ujarnya. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpendapat, jumlah petugas yang tidak berimbang dengan pemilih membuka celah terjadinya praktik kecurangan. ”Adanya partisan di lingkungan pemerintahan yang mencoba memanfaatkan celah ini (kecurangan) lantaran jumlah pengawas yang terbatas, sementara jumlah pemilih banyak dan tidak merata persebarannya. Semua ini terbentur aturan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang dibatasi lima orang,”ungkap Anis. Karena itu, Migrant Care berencana membangun kerja sama dengan Bawaslu. Migrant Care akan memantau pemilu di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Menjawab kekhawatiran tersebut,Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini akan mengupayakan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) di luar negeri. ”Saya sudah mendengar soal fenomena itu, dan menurut saya,dubes partisan itu memang harus diwaspadai,” kata Sardini. Bawaslu, kata dia, saat ini telah mempunyai Sentra Gakumdu Kuala Lumpur,Tokyo,dan Arab Saudi. (fahmi faisa)

"Ada Dubes Paksa TKI Pilih Partai Tertentu"

VIVAnews - Wahyu Susilo, analis kebijakan Migrant Care, meminta Badan Pengawas Pemilu menindak duta-duta besar yang memobilisasi suara tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri ke partai tertentu. Duta-duta besar itu rata-rata anggota partai politik."Kelakuan dubes partisan harus diawasi karena mereka seharusnya selaku pejabat negara harus tahu kapan berperilaku sebagai anggota partai dan kapan tidak," kata Wahyu dalam audiensi dengan Badan Pengawas Pemilu di Jakarta, Rabu, 28 Januari 2009.Wahyu menambahkan, pengalaman Pemilu 2004 lalu, banyak dubes semacam itu mengarahkan para buruh migran untuk memilih partai tertentu. Rekan Wahyu, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menambahkan, kendala partisan itu terbentur aturan Panitia Pemilihan Luar Negeri dibatasi lima orang, sementara jumlah pemilih banyak dan tidak merata persebarannya.Anis mengkhawatirkan kecenderungan Pemilu 2004 yang bermasalah karena disinyalir ada kecurangan yang dilakukan partai tertentu. Anis tak menyebutkan nama partai tersebut namun ia mengatakan partai tersebut pada pemilu 2004 lalu mendapat suara yang sangat banyak di Malaysia.Menjawab permintaan Migrant Care itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini menyatakan akan mengupayakan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di luar negeri. Bawaslu saat ini telah mempunyai Sentra Gakumdu Kuala Lumpur, Tokyo dan Arab Saudi. "Saya sudah mendengar soal adanya fenomena itu dan menurut saya dubes partisan itu memang harus diwaspadai," kata Sardini.Sementara anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widodo berkomentar kebanyakan PPLN berisi para dubes-dubes itu. Bawaslu juga, lanjut Bambang, tidak punya kekuasaan untuk memilih orang yang bukan partisan karena yang memilih duta besar.Sosialisasi MinimDalam audiensi itu, Anis Hidayah juga mengemukakan minimnya sosialisasi Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum di luar negeri. Malah yang melakukan sosialisasi adalah partai-partai besar yang memiliki banyak uang.Anis juga mengeluhkan kecurangan pelanggaran 2004 tidak terlihat ditindaklanjuti. Untuk ke depan, Migrant Care berencana membangun kerjasama dengan Bawaslu. Migrant Care akan memantau pemilu di Singapura, Malaysia dan Hong Kong.

Selasa, 20 Januari 2009

NGO Warns KPU Neglecting Overseas Voters

January 20, 2009
The Jakarta Globe
Camelia Pasandaran
The General Elections Commission, or KPU, has so far failed to make adequate preparations for the millions of Indonesians working overseas to participate in this year's national elections, a representative of a nongovernmental organization that advocates on behalf of migrant workers, said on Tuesday.
Anis Hidayah of Migrant Care raised questions about the KPU's preparations, citing a fall in the number of registered overseas voters since the 2004 elections, despite a steady increase in the number of Indonesian workers living overseas.
"In 2004, there were 1.9 million overseas voters, while for the 2009 elections there are only 1.5 million registered voters," Anis said. "I believe there are still millions unregistered."
The criticism comes as the KPU has also taken heat for a controversial proposal to increase the number of women in Indonesian provincial and national legislatures, and amid concern that the elections body would not have key preparations in place in time for April's national elections.
KPU member Sri Nuryanti said the number of overseas voters had fallen because many migrant workers moved frequently within or even between the countries in which they lived.
In addition, she said, many unregistered eligible voters were working overseas illegally.
"Despite the fact that many migrants' passports are held by their employers and agencies, we cannot register those who do not have passports or other identity cards," Nuryanti said.
According to Anis, although there were 1.9 million overseas voters registered in 2004, only about 400 voted on election day.
"Low participation is also a reflection of low interest," she said. "All overseas votes will be pooled to the Jakarta II election area. The fact that most of them are coming from other provinces and see no reason to vote for candidates that are not representing their native region has made them disinclined to vote."
KPU member Andi Nurpati said it would be too difficult to have overseas Indonesians vote in their own election area.
"We would have to send different ballot papers adjusted to their hometown," she said. "We can't do anything about it."
Migrant Care also questioned the KPU's decision to conduct the elections on weekdays, thus putting workers in a bind.
"Some of the Indonesian migrant workers in the Middle East are not allowed to go out on work days," she said. "Most Indonesian migrants work in factories, shops and as housekeepers, and they have to work on election day."
In most countries, overseas voters have to go to an Indonesian consulate general or embassy to vote.
Nuryanti said that in some countries the commission would provide voting equipment and mobile polling stations.
"We will provide drop-boxes for migrant workers, such as in oil refineries in Johor and Kuala Lumpur [in Malaysia], to make it easier for voters," she said.
However, in some countries, which never conduct elections, the commission could not provide polling stations outside embassies and consulates general.
"It would be a sensitive issue in such countries, because they never conduct votes," she said.

NGO Warns KPU Neglecting Overseas Voters

January 20, 2009
The Jakarta Globe
Camelia Pasandaran
The General Elections Commission, or KPU, has so far failed to make adequate preparations for the millions of Indonesians working overseas to participate in this year's national elections, a representative of a nongovernmental organization that advocates on behalf of migrant workers, said on Tuesday.
Anis Hidayah of Migrant Care raised questions about the KPU's preparations, citing a fall in the number of registered overseas voters since the 2004 elections, despite a steady increase in the number of Indonesian workers living overseas.
"In 2004, there were 1.9 million overseas voters, while for the 2009 elections there are only 1.5 million registered voters," Anis said. "I believe there are still millions unregistered."
The criticism comes as the KPU has also taken heat for a controversial proposal to increase the number of women in Indonesian provincial and national legislatures, and amid concern that the elections body would not have key preparations in place in time for April's national elections.
KPU member Sri Nuryanti said the number of overseas voters had fallen because many migrant workers moved frequently within or even between the countries in which they lived.
In addition, she said, many unregistered eligible voters were working overseas illegally.
"Despite the fact that many migrants' passports are held by their employers and agencies, we cannot register those who do not have passports or other identity cards," Nuryanti said.
According to Anis, although there were 1.9 million overseas voters registered in 2004, only about 400 voted on election day.
"Low participation is also a reflection of low interest," she said. "All overseas votes will be pooled to the Jakarta II election area. The fact that most of them are coming from other provinces and see no reason to vote for candidates that are not representing their native region has made them disinclined to vote."
KPU member Andi Nurpati said it would be too difficult to have overseas Indonesians vote in their own election area.
"We would have to send different ballot papers adjusted to their hometown," she said. "We can't do anything about it."
Migrant Care also questioned the KPU's decision to conduct the elections on weekdays, thus putting workers in a bind.
"Some of the Indonesian migrant workers in the Middle East are not allowed to go out on work days," she said. "Most Indonesian migrants work in factories, shops and as housekeepers, and they have to work on election day."
In most countries, overseas voters have to go to an Indonesian consulate general or embassy to vote.
Nuryanti said that in some countries the commission would provide voting equipment and mobile polling stations.
"We will provide drop-boxes for migrant workers, such as in oil refineries in Johor and Kuala Lumpur [in Malaysia], to make it easier for voters," she said.
However, in some countries, which never conduct elections, the commission could not provide polling stations outside embassies and consulates general.
"It would be a sensitive issue in such countries, because they never conduct votes," she said.

Partisipasi Pemilih Luar Negeri Diperkirakan Hanya 20 Persen

Penulis : Kennorton Hutasoit

JAKARTA--MI: Jumlah partisipasi pemilih luar negeri dalam memberikan suara pada Pemilu 2009 diperkirakan hanya 20%. Pasalnya, hari pemungutan suara 9 April bukan hari libur atau sama seperti Pemilu 2004. "Potensi masalah yang akan muncul pada Pemilu 2009 yang pemungutan suaranya juga tidak pada hari libur hampir sama dengan masalah Pemilu 2004. Jumlah DPT (daftar pemilih tetap)luar negeri untuk pemilu 2009 sebanyak 1,5 juta dan diperkirakan jumlah pemilih juga tidak lebih dari 20%, yakni sekitar 300 ribu orang. Masalahnya hampir sama dengan Pemilu 2004 yang jumlah DPT sebanyak 1.9 juta dan hanya 410 ribu atau 20% yang memberikan suara," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU Jakarta, Selasa (20/1). Anis didampingi Bagian Advokasi Migrant Care Nur Harsonoh diterima anggota KPU Andi Nurpati dan Sri Nuryanti. Menurunnya jumlah DPT di luar negeri diragukan validasinya karena jumlah orang Indonesia ke luar negeri terus bertambah. "Cukup aneh kalau DPT luar negeri menurun. Kami yakin banyak yang tidak terdaftar. Menurut perkiraan kami ada sekitar 6,5 juta pemilih di luar negeri," ujarnya. Ia juga meragukan pemilihan melalui pos akan banyak kecurangan karena perlu waktu yang lama untuk pengiriman. "Metode ini kurang efektif seperti pada Pemilu 2004. KPU perlu memperketat pengawasan dalam metode pengiriman melalui pos, dengan melibatkan elemen masyarakat di luar negeri seperti mahasiswa, dan serikat buruh migran," ujarnya. KBRI dan PPLN, menurut Anis, perlu membuat perjanjian kerja sama dengan kementerian terkait di negara tujuan yang berisikan jaminan dari majikan bagi buruh migran untuk menggunakan hak pilihnya. Ia memperkirakan kurangnya informasi mengenai tata cara dan tahapan pemilu akan mengakibatkan rendahnya partisipasi buruh migran dan warga negara Indonesia (WNI) lainnya. "PPLN harus segera meningkatkan sosialisasi terutama di kantong buruh migran mengingat pemungutan suara sudah dekat pada 9 April," katanya. Anggota KPU Sri Nuryanti mengatakan meski banyak orang Indonesia yang ke luar negeri, tapi banyak juga yang kembali ke Indonesia. "Waktu saya ke Johor (Malaysia) sekitar 6.000 orang yang pulang ke Indonesia," katanya. Nuryanti berjanji akan meminta PPLN agar melakukan pendekatan dengan pemerintah dan majikan agar diijinkan memilih pada pemungutan suara 9 April nanti. "PPLN itu mudah dikoordinasikan dan kami akan minta melakukan pendekatan kepada majikan agar mengizinkan pemilih memberikan suara pada hari pemungutan suara," katanya. Sementara itu, Andi Nurpati mengatakan di negara negara kerajaan kecil kemungkinan dilakukan pemungutan suara di luar duta besar dan konsulat jenderal. "Di negara negara kerajaan pemungutan suara hanya mungkin dilakukan di dubes dan konsul," katanya. (KN/OL-01)
»
Komentar Dari Anda-->

KPU Harus Tingkatkan Sosialisasi Pemilu untuk TKI

Komisi Pemilihan Umum (KPU) didesak untuk meningkatkan sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Desakan tersebut disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care di kantor KPU, Jakarta, Selasa (20/1). Menurut Directur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, saat ini sebagian besar TKI, khususnya yang berkerja di Timur Tengah belum mengetahui pelaksanaan pemilu 2009 mendatang.

Migrant care memprediksi jutaan TKI terancam tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang karena kurangnya informasi. KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi lima tahunan ini, dinilai kurang aktif mensosialisasikan pelaksanaan teknis pemilu untuk TKI.

Migrant care mencatat setidaknya sekitar 80 persen dari 6,5 juta TKI tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2009 karena tidak terdaftar sebagai pemilih.

Migrant care juga meminta kepada KPU untuk membentuk daerah pemilihan (dapil) tersendiri bagi WNI di luar negeri. Selama ini surat suara dari pemilih luar negeri ditujukan untuk daerah dapil Jakarta Selatan.

Rep/Kam:Mahfud Penulis:Effendy VO:Maya Editor Video:Zulfan


klik: http://tv.kompas.com/content/view/12050/2/

Migrant Care Keberatan Pemilu Digelar Dihari Kerja

Migrant Care Keberatan Pemilu Digelar Dihari Kerja
Selasa, 20 Januari 2009 - 10:49 wib
Insaf Albert Tarigan - Okezone

JAKARTA - Protes atas pemilihan tanggal 9 April sebagai waktu pemungutan suara Pemilu 2009 tidak hanya datang dari masyarakat Bali dan Nusa Tenggara Timur, LSM Migrant Care juga keberatan dengan keputusan tersebut.

Keberatan Migrant Care bukan karena adanya benturan pelaksanaan pemilu dengan perayaan hari besar keagamaan. Melainkan karena tanggal 9 April merupakan hari efektif kerja.

Hal itu dinilai berpotensi mengurangi partisipasi pemilih di luar negeri. Para tenaga kerja Indonesia akan kesulitan menyalurkan hak politiknya karena pada saat bersamaan harus bekerja.

"Karena itu, kami merekomendasikan agar KBRI dan PPLN membuat perjanjian dengan kementrian urusan tenaga kerja negara-negara yang ada TKI-nya sehingga ada jaminan bagi para TKI untuk menyalurkan suaranya pada 9 April," ujar Direktur Migrant Care Anis Hidayah di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (20/1/2009).

Enam rekomendasi lain juga disampaikan Migrant Care kepada KPU. Di antaranya usulan agar kawasan luar negeri tidak dimasukkan ke dalam daerah pemilihan DKI Jakarta II. Namun ada dapil khusus untuk para pemilih di luar negeri. "Para TKI kan berasal dari berbagai daerah. Keberadaan dapil khusus akan menbuat caleg lebih aspiratif," ujarnya.

Rekomendasi ketiga Migrant Care menyinggung masih lemahnya pengawasan metode pemungutan suara dengan menggunakan jasa kantor pos. Selanjutnya lembaga pemerhati buruh migran itu mendesak agar ada peningkatan sosialisasi pemilu, pendidikan politik, serta aturan tersendiri untuk pemilu di luar negeri. "Kami juga meminta agar parpol menyediakan profil para calegnya," terang Anis.

Menyikapi aspirasi ini, komisioner KPU Sri Nuryanti berjanji akan menindaklanjutinya. Namun mengenai rendahnya partisipasi pemilih di luar negeri, Sri menyatakan sulit dihindarkan. Pasalnya, kesadaran politik para TKI masih rendah. "KPU hanya berusaha menyosialisasikan pemilu," ungkapnya.

Rendahnya partisipasi para TKI, menurut Sri, juga terpengaruh faktor persyaratan administratif yaitu pencantuman nomor paspor. Sehingga para TKI ilegal tidak bisa memberikan hak pilihnya.

Guna mendongkrak partisipasi pemilih di luar negeri, KPU telah menyiapkan TPS berjalan dan tidak adanya pembatasan satu TPS maksimal 500 pemilih. "Kita batasi satu TPS 2.000 pemilih," pungkasnya.

(ful)