Selasa, 28 April 2009 03:14 WIB
Usul tersebut disampaikan kepada Ketua DPR Agung Laksono oleh wakil pengusul, yaitu Gayus Lumbuun, Hasto Kristiyanto, Aria Bima (F-PDIP), Nursyamsi Nurlan (F-BPD), Joseph TH Pati (F-PG), serta Kurdi Moekri (F-PPP), pada Senin (27/4) siang. Para pengusul yang lain berasal dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Menurut pengusul, kekacauan daftar pemilih tetap telah mencederai pemilu yang mestinya merupakan sarana kedaulatan rakyat. Terkait dengan hilangnya hak pilih warga negara, kesalahan tidak bisa dialihkan kepada KPU saja. Misalnya, undang-undang menempatkan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas data kependudukan yang menjadi sumber penetapan DPT.
Hasto Kristiyanto menekankan, jika disetujui sebagai hak DPR, angket tidak dibatasi periode jabatan DPR. Penyelesaian masalah ini penting karena menyangkut hak konstitusional warga negara. Jika tidak diusut tuntas, pemilu ke depan akan terus dihadapkan pada ketidakpercayaan masyarakat. ”Ini untuk menyelamatkan demokrasi ke depan,” ujar Hasto.
Hasto menampik anggapan bahwa pihaknya baru mempersoalkan DPT seusai pemilu legislatif. Sejak jauh-jauh hari, setidaknya pada Februari, pihaknya sudah mengingatkan masalah DPT. Ada bukti meyakinkan bahwa mekanisme penyusunan DPT tak sesuai mekanisme. ”Faktanya, parpol tidak pernah menerima DPS dan DPT,” kata Hasto.
LN bermasalah juga
Tidak hanya DPT dalam negeri yang banyak menimbulkan masalah, DPT luar negeri pun amburadul. Akibatnya, partisipasi pemilih luar negeri sangat rendah.
Berbagai permasalahan seputar DPT LN disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah ketika melapor ke Badan Pengawas Pemilihan Umum, Senin (27/4). Mereka diterima Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini dan dua anggota Bawaslu, yaitu Wirdyaningsih dan Wahidah Suaib. Pada hari pemungutan suara, 9 April, Migrant Care melakukan pemantauan di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan penampungan calon buruh migran.
Anis mengatakan, dari pemantauan ditemukan bahwa validitas DPT LN diragukan. Ia mencontohkan bahwa dalam DPT ditemukan satu nama untuk 40-50 orang. ”Bagaimana memastikan bahwa banyak orang memiliki kesamaan nama. Misalnya, saja di Singapura, dalam satu DPT ada 30-50 orang dengan nama yang sama. Ketika kami meminta PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) untuk membacakan nomor paspornya, mereka tidak mau,” kata Anis.
Selain itu, mayoritas pemilih dalam DPT Singapura seharusnya berjenis kelamin perempuan karena sebagian besar buruh adalah pembantu rumah tangga. ”Tetapi, yang mengherankan, DPT Singapura lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Padahal ada sekitar 10.000 ABK yang mayoritas laki-laki tidak terdaftar,” ujarnya.
Kekisruhan DPT LN berdampak pada partisipasi buruh migran dalam pemilu.
Menurut data Migrant Care, buruh migran di Malaysia yang terdaftar sebagai pemilih sebanyak 850.044, tetapi yang menggunakan hak pilih hanya 143.183 atau 1,84 persen. Begitu pula di Singapura, tingkat partisipasi pemilih sebesar 17,39 persen dan Hongkong 23,07 persen.
”Dengan banyaknya pelanggaran yang kami sampaikan ke Bawaslu ini, kami meminta supaya Bawaslu mendesak KPU dan PPLN untuk segera mengevaluasi DPT LN sebelum ditetapkan sebagai DPS pemilu presiden. Semua buruh migran harus terdaftar sehingga bisa menggunakan hak pilihnya. Kami juga mendesak Bawaslu segera menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilu di luar negeri,” katanya. (DIK/SIE)
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/28/03142594/usulan.hak.angket.untuk.dpt