BURUH MIGRAN DAN PEMILU (1)
Kamis, 11 Juni 2009 | 03:17 WIB
Dewi Indriastuti Seberapa besar partisipasi pemilih pada Pemilu legislatif 2009 di Hongkong? Jumlah pemilih tetap yang tercantum dalam daftar pemilih retap sebanyak 103.931 orang. Pada praktiknya, hanya 24.726 orang yang menggunakan hak pilih.
Dengan demikian, hanya 23,79 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 79.205 orang atau 76,21 persen dari jumlah pemilih yang tercatat dalam DPT.
Rendahnya partisipasi pemilih ini menjadi catatan khusus bagi lembaga yang bergerak di bidang advokasi buruh migran Indonesia, Migrant Care. Hal itu tergambar dalam diskusi kecil kami—beberapa wartawan dari Indonesia—bersama Migrant Care, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong, Indonesian Migrants Worker Union (IMWU), Koalisi Organisasi TKI di Hongkong (Kotkiho), dan Tifa Foundation.
Perbincangan sehari sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 itu ternyata terbukti.
Berdasarkan data Migrant Care, buruh migran Indonesia di Hongkong jumlahnya sekitar 130.000 orang. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebutkan, syarat menjadi buruh migran adalah berusia minimal 18 tahun. Dengan demikian, semua buruh migran mestinya tercatat sebagai pemilih pada pemilu.
Akan tetapi, menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih merupakan persoalan yang berbeda bagi buruh migran. Kendala yang dihadapi buruh migran untuk menggunakan hak pilih antara lain sulit memperoleh waktu libur pada hari pemungutan suara. Mayoritas buruh migran juga tidak tahu tanggal pemungutan suara karena sosialisasi pemilu tak menyentuh mereka.
Persoalan besar yang tercetus dalam diskusi kecil itu adalah apatisme buruh migran terhadap pemilu legislatif. Buruh migran tak merasa memiliki hubungan dengan anggota DPR sehingga tidak merasa perlu memilih anggota DPR. Sikap itu tak bisa disalahkan. Seperti pemilih luar negeri lainnya, buruh migran di Hongkong memilih calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.
Padahal, umumnya buruh migran Indonesia berasal dari daerah luar DKI Jakarta sehingga tak pernah kenal atau mendengar nama calon anggota legislatif itu.
Anis Hidayah berpendapat, buruh migran tidak menyadari bahwa DPR memegang kunci dalam proses legislasi. ”Menyusun undang-undang yang menguntungkan bagi buruh migran juga. Proses politik ini yang tidak diketahui buruh migran,” ujar Anis.
Ketua ATKI di Hongkong Eni Lestari Andayani punya alasan lain. Selama ini tidak ada partai politik yang membawa isu buruh migran. Oleh karena itu, memilih atau tidak, tak ada manfaatnya secara langsung.
”Mungkin anggota kami ada saja yang ikut memilih dalam pemilu legislatif, tetapi jadi apatis. Apa pun hasilnya, sudah tak berani berharap,” kata Eni.
Tak ada gunanya
ATKI tidak mengeluarkan keputusan atau rujukan bagi anggotanya. Menurut Eni, ATKI mempersilakan 300 anggotanya untuk memilih ataupun menjadi golongan putih (golput).
Sumiati dari Kotkiho menambahkan, dari pengalaman anggotanya, memilih calon anggota legislatif tidak memberi pengaruh positif secara langsung. ”Tetap jadi buruh migran. Kalau ada kesulitan di sini, juga tidak ada pertolongan. Ini yang bikin kami jadi merasa tak ada pengaruhnya untuk memilih anggota DPR,” kata Sumiati.
Ario Adityo dari IMWU menambahkan, pengalaman mengajarkan buruh migran untuk mengambil sikap dan bertindak. Respons terhadap pemilu pun, sebenarnya merupakan respons berlanjut atas sikap pemerintah selama ini terhadap buruh migran. ”Sikap untuk tidak memilih dalam pemilu legislatif merupakan efek domino dari perlakuan pemerintah terhadap kami. Buruh migran diperas oleh agen, lalu ditimpa kesulitan. Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi warga negaranya?” ujar Ario.
Dalam hasil penelitian Asian Migrant Care, IMWU, dan Kotkiho yang dipublikasikan pada September 2007 berjudul ”Underpayment 2”, persoalan yang dialami buruh migran Indonesia di Hongkong umumnya sama. Persoalan itu adalah pelanggaran jam kerja harian, waktu istirahat wajb mingguan, biaya agen yang tinggi, dan upah di bawah standar aturan.
Masalah yang dialami buruh migran bukan hanya setelah tiba di Hongkong. Namun, sejak terdaftar sebagai buruh migran pada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia. Menjalani pelatihan, berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, hingga memperoleh kerja melalui agen kerja di Hongkong. Semua tak lepas dari gangguan calo.
Penelitian itu menyebutkan, Pemerintah Indonesia memang menyalahkan calo. Namun, tak melakukan langkah progresif untuk melindungi buruh migran.
Anis sependapat dengan Ario. Apatisme buruh migran menghadapi pemilu merupakan wujud ”perlawanan” atas sikap Pemerintah Indonesia selama ini, yang cenderung memperlakukan buruh migran sebagai sumber devisa semata.
Namun, kondisi ini diperkirakan berbeda dengan Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2009. Setidaknya, buruh migran lebih tertarik pada pemilihan presiden, sebagai representasi Pemerintah Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, buruh migran di Hongkong pun tak ingin ketinggalan memilih calon presiden dan calon wakil presiden mereka nanti.
Seperti dikatakan Sri Wahyuni, buruh migran asal Solo, Jawa Tengah, yang sudah empat tahun bekerja di Hongkong. “Saya mau milih kalau untuk presiden. Tapi, presidennya harus bisa bantu kita kalau kita ada kesulitan di sini,” ujar Sri.
Kira-kira bisakah harapan buruh migran yang diwakili Sri Wahyuni terpenuhi? Langkah awal tentu saja, menyempurnakan DPT pemilu presiden-wakil presiden!
Sumber: KOMPAS
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/11/03174513/golput.dan.apatisme