Senin, 15 Juni 2009

Presiden Terpilih Harus Lindungi TKI

Posted By syamsir On 15 Juni 2009 @ 17:03 PM In Berita Terkini | No Comments

JAKARTA (Pos Kota) – Kalangan lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli
terhadap nasib tenaga kerja Indonesia (TKI), berharap presiden terpilih dalam pemilihan presiden pada 8 Juli mendatang bisa lebih memperhatikan nasib TKI atau buruh migrant di luar negeri.

“Presiden terpilih harus benar-benar bisa menjamin dan memberikan perlindungan maksimal terhadap TKI, agar mereka bisa tenang bekerja,” kata Tadjudin Ka’bah, Koordinator Migrant Justice, Senin.

Ia menambahkan, pemerintah hanya menjadikan TKI sebagai sarana penghasil devisa. ”Biasanya dalam kampanye keberhasilan TKI mengumpulkan devisa terbesar dibawah migas diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.

Sementara dalam soal perlindungan, pemerintah baru bertindak jika sudah terjadi peristiwa yang menimpa TKI. Contohnya dalam kasus Siti Hajar, Nirmala Bonat dan lainnya,” ujarnya.

Seharusnya, perlindungan terhadap TKI sudah terfokus sejak TKI direkrut, berada dipenampungan, ditempatkan hingga pemulangan.

Pemerintah harus bisa meminta data alamat TKI dipekerjakan, agar mudah bertindak jika ada masalah.

Karena itu, Ia berharap capres dan cawapres dalam pemilu presiden kali ini tidak sekadar mengumbar janji-janji untuk memberikan perlindungan terhadap TKI, tanpa bisa memberikan bukti konkrit.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, aspirasi politik buruh migran (TKI) selama ini hanya menjadi pelengkap dalam Pemilu dan hanya untuk menambah suara saja, sementara setelah itu kepentingannya dilupakan.

“Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, ada sembilan calon yang terpilih menjadi anggota DPR untuk Dapil 2 DKI Jakarta yang mencakup wilayah luar negeri, tapi setelah terpilih sebagian besar ditempatkan di komisi yang tidak berkepentingan dengan aspirasi masyarakat atau TKI di luar negeri,” kata Anis.

Menurutnya, sepanjang pengabdian mereka di DPR 2004-2009, sembilan anggota DPR ini kurang memperjuangkan aspirasi buruh migran. “Tidak ada satu pun tindakan politik yang dilakukan sembilan anggota DPR RI yang suaranya dipilih dari buruh migran untuk memberikan perlindungan buruh migran Indonesia,” kata Anis.

Yang paling nyata dan kasat mata adalah tidak ada satu pun anggota DPR yang terpilih dari suara buruh migran menjadi anggota Komisi IX yang membidangi masalah perburuhan,” tambah direktur migrant care itu.

(tri/sir)


Sumber: POSKOTA

http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2009/06/15/presiden-terpilih-harus-lindungi-tki

Jumat, 12 Juni 2009

Golput dan Apatisme

BURUH MIGRAN DAN PEMILU (1)
Kamis, 11 Juni 2009 | 03:17 WIB

Dewi Indriastuti

Seberapa besar partisipasi pemilih pada Pemilu legislatif 2009 di Hongkong? Jumlah pemilih tetap yang tercantum dalam daftar pemilih retap sebanyak 103.931 orang. Pada praktiknya, hanya 24.726 orang yang menggunakan hak pilih.

Dengan demikian, hanya 23,79 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 79.205 orang atau 76,21 persen dari jumlah pemilih yang tercatat dalam DPT.

Rendahnya partisipasi pemilih ini menjadi catatan khusus bagi lembaga yang bergerak di bidang advokasi buruh migran Indonesia, Migrant Care. Hal itu tergambar dalam diskusi kecil kami—beberapa wartawan dari Indonesia—bersama Migrant Care, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong, Indonesian Migrants Worker Union (IMWU), Koalisi Organisasi TKI di Hongkong (Kotkiho), dan Tifa Foundation.

Perbincangan sehari sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 itu ternyata terbukti.

Berdasarkan data Migrant Care, buruh migran Indonesia di Hongkong jumlahnya sekitar 130.000 orang. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebutkan, syarat menjadi buruh migran adalah berusia minimal 18 tahun. Dengan demikian, semua buruh migran mestinya tercatat sebagai pemilih pada pemilu.

Akan tetapi, menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih merupakan persoalan yang berbeda bagi buruh migran. Kendala yang dihadapi buruh migran untuk menggunakan hak pilih antara lain sulit memperoleh waktu libur pada hari pemungutan suara. Mayoritas buruh migran juga tidak tahu tanggal pemungutan suara karena sosialisasi pemilu tak menyentuh mereka.

Persoalan besar yang tercetus dalam diskusi kecil itu adalah apatisme buruh migran terhadap pemilu legislatif. Buruh migran tak merasa memiliki hubungan dengan anggota DPR sehingga tidak merasa perlu memilih anggota DPR. Sikap itu tak bisa disalahkan. Seperti pemilih luar negeri lainnya, buruh migran di Hongkong memilih calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.

Padahal, umumnya buruh migran Indonesia berasal dari daerah luar DKI Jakarta sehingga tak pernah kenal atau mendengar nama calon anggota legislatif itu.

Anis Hidayah berpendapat, buruh migran tidak menyadari bahwa DPR memegang kunci dalam proses legislasi. ”Menyusun undang-undang yang menguntungkan bagi buruh migran juga. Proses politik ini yang tidak diketahui buruh migran,” ujar Anis.

Ketua ATKI di Hongkong Eni Lestari Andayani punya alasan lain. Selama ini tidak ada partai politik yang membawa isu buruh migran. Oleh karena itu, memilih atau tidak, tak ada manfaatnya secara langsung.

”Mungkin anggota kami ada saja yang ikut memilih dalam pemilu legislatif, tetapi jadi apatis. Apa pun hasilnya, sudah tak berani berharap,” kata Eni.

Tak ada gunanya

ATKI tidak mengeluarkan keputusan atau rujukan bagi anggotanya. Menurut Eni, ATKI mempersilakan 300 anggotanya untuk memilih ataupun menjadi golongan putih (golput).

Sumiati dari Kotkiho menambahkan, dari pengalaman anggotanya, memilih calon anggota legislatif tidak memberi pengaruh positif secara langsung. ”Tetap jadi buruh migran. Kalau ada kesulitan di sini, juga tidak ada pertolongan. Ini yang bikin kami jadi merasa tak ada pengaruhnya untuk memilih anggota DPR,” kata Sumiati.

Ario Adityo dari IMWU menambahkan, pengalaman mengajarkan buruh migran untuk mengambil sikap dan bertindak. Respons terhadap pemilu pun, sebenarnya merupakan respons berlanjut atas sikap pemerintah selama ini terhadap buruh migran. ”Sikap untuk tidak memilih dalam pemilu legislatif merupakan efek domino dari perlakuan pemerintah terhadap kami. Buruh migran diperas oleh agen, lalu ditimpa kesulitan. Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi warga negaranya?” ujar Ario.

Dalam hasil penelitian Asian Migrant Care, IMWU, dan Kotkiho yang dipublikasikan pada September 2007 berjudul ”Underpayment 2”, persoalan yang dialami buruh migran Indonesia di Hongkong umumnya sama. Persoalan itu adalah pelanggaran jam kerja harian, waktu istirahat wajb mingguan, biaya agen yang tinggi, dan upah di bawah standar aturan.

Masalah yang dialami buruh migran bukan hanya setelah tiba di Hongkong. Namun, sejak terdaftar sebagai buruh migran pada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia. Menjalani pelatihan, berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, hingga memperoleh kerja melalui agen kerja di Hongkong. Semua tak lepas dari gangguan calo.

Penelitian itu menyebutkan, Pemerintah Indonesia memang menyalahkan calo. Namun, tak melakukan langkah progresif untuk melindungi buruh migran.

Anis sependapat dengan Ario. Apatisme buruh migran menghadapi pemilu merupakan wujud ”perlawanan” atas sikap Pemerintah Indonesia selama ini, yang cenderung memperlakukan buruh migran sebagai sumber devisa semata.

Namun, kondisi ini diperkirakan berbeda dengan Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2009. Setidaknya, buruh migran lebih tertarik pada pemilihan presiden, sebagai representasi Pemerintah Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, buruh migran di Hongkong pun tak ingin ketinggalan memilih calon presiden dan calon wakil presiden mereka nanti.

Seperti dikatakan Sri Wahyuni, buruh migran asal Solo, Jawa Tengah, yang sudah empat tahun bekerja di Hongkong. “Saya mau milih kalau untuk presiden. Tapi, presidennya harus bisa bantu kita kalau kita ada kesulitan di sini,” ujar Sri.

Kira-kira bisakah harapan buruh migran yang diwakili Sri Wahyuni terpenuhi? Langkah awal tentu saja, menyempurnakan DPT pemilu presiden-wakil presiden!


Sumber: KOMPAS

http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/11/03174513/golput.dan.apatisme

Sabtu, 06 Juni 2009

BMI Pemilih Pilpres Diperkirakan Naik


Optimisme jumlah pemilih akan meningkat pada pemilu presiden 8 Juli mendatang diungkapkan oleh Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Hong Kong, Dicky Soerjanatamihardja. “Saya percaya lebih banyak,” ujarnya. Alasannya, warga lebih kenal dengan calon yang akan dipilihnya, dibanding Pemilu Legislatif yang memunculkan ratusan calon. Jumlah warga Indonesia di Hong Kong diperkirakan sekitar 130.000. Di mana 122.000 (menurut data Imigrasi-Hong Kong tahun 2008) diantaranya adalah BMI.

Beberapa waktu sebelumnya, Dicky mengatakan bahwa sejumlah buruh migran Indonesia yang ia temui saat sosialisasi, mengaku enggan menggunakan hak pilihnya karena tak kenal calegnya. Seperti diketahui, suara dari luar negeri hanya akan masuk ke caleg dari daerah pemilihan Jakarta II. Sementara mayoritas BMI yang berada di Hong Kong berasal dari Jawa Timur. “Ya, saya mau bilang apa?” ujar Dicky saat itu.

Namun untuk pemilihan pasangan presiden-wakil presiden mendatang, Dicky yakin bahwa animo masyarakat akan lebih besar. Untuk itu, Dicky mengatakan, jika animo masyarakat terbukti cukup besar dalam Pilpres mendatang, maka enam Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan diperpanjang waktu bukanya hinga jam 4 sore. Sementara jam mulai pelaksanaan sama dengan Pemilu Legislatif, yaitu mulai jam 9 pagi.

Bagi buruh migran Indonesia, mayoritas WNI yang tinggal di Hong Kong, yang berniat menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres mendatang, maka formulir pendaftaran bisa diambil di kantor KJRI. Atau bisa juga dikirim melalui email ke ppln.hk@gmail.com atau SMS ke nomor 61114767. Sejumlah data yang perlu disampaikan melalui email dan SMS ini meliputi nama, nomor paspor, KTP, tempat dan tanggal lahir, alamat, dan memutuskan apakah akan memilih melalui pos atau datang langsung ke TPS.

Sebelumnya, banyak buruh migran asal Indonesia di Hong Kong yang tak bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif 2009. Migrant Care, organisasi nonpemerintah yang ditunjuk sebagai salah satu lembaga pengawas Pemilu, menyebut hak-hak buruh migran Indonesia diabaikan karena DPT terkesan dibuat asal-asalan.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, yang datang ke Hong Kong untuk memantau pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April lalu, menyesalkan banyaknya BMI yang tak bisa menggunakan haknya. Sementara R.Kristiawan dari Tifa Foundation yang datang bersama Migrant Care ke Hong Kong, menyebut bahwa dugaaan kacaunya administrasi pelaksanaan Pemilu Legislatif terbukti. *


Sumber: Kampung TKI

http://kampungtki.com/baca/2930

Jumat, 05 Juni 2009

Perhatian Calon kepada Buruh Migran Kurang

Jakarta, Kompas - Para calon presiden Indonesia periode 2009-2014 dinilai kurang memerhatikan nasib para buruh migran asal Indonesia. Padahal, meski jumlahnya banyak dan mendatangkan devisa amat besar, nasib buruh migran umumnya amat memprihatinkan.

Demikian antara lain dikatakan Sri Nurherwati dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan-Jakarta. Kamis (4/6) di Jakarta.

Hal senada disampaikan Koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa Dewi Tjakrawinata. ”Tidak ada calon yang bicara tentang perlindungan atau pengembangan buruh migran. Semua bicara ekonomi kerakyatan atau pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun, anehnya, ketika di Surabaya ada anak pedagang kaki lima yang tersiram air panas saat ada penertiban oleh Satpol PP, mereka diam saja,” ujar Dewi.

Kurangnya kepedulian para capres dan cawapres terhadap isu buruh migran, menurut Nurherwati, amat memprihatinkan. Sebab, mereka amat membantu perekonomian Indonesia. Pada tahun 2007 kiriman buruh migran Indonesia mencapai sekitar 5,6 miliar dollar AS, setara dengan Rp 50,4 triliun (kurs Rp 9.000). Nilai ini dapat diketahui karena mereka mengirimkan uangnya melalui jasa perbankan. Menurut catatan Migrant Care, organisasi masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan buruh migran, devisa yang dihasilkan buruh migran pada 2008 sekitar Rp 8,4 miliar dollar AS, atau lebih dari Rp 100 triliun. (NWO)


Sumber: KOMPAS

http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/05/03393357/perhatian.calon.kepada.buruh.migran.kurang

Senin, 01 Juni 2009

Jumlah DPT Luar Negeri Turun, Kinerja KPU Dinilai Memburuk

Novia Chandra Dewi - detikPemilu



Jakarta - Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) luar negeri untuk Pemilu Presiden mengalami penurunan dibandingkan dengan Pemilu Legislatif. Hal ini dinilai karena semakin buruk dan tidak berkualitasnya kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"DPT luar negeri pada Pilpres 2009 sebanyak 1.137.738 pemilih. Mengalami penurunan sejumlah 338.105 pemilih dari DPT pada Pileg 1.475.847," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah sesuai siaran pers yang disampaikan kepada detikcom, Senin (1/6/2009).

Padahal pada pelaksanaan Pileg sebelumnya, jumlah DPT luar negeri belum mencerminkan jumlah Warga Negara Indoensia (WNI) yang ada di luar negeri. Dengan begitu, DPT Pilpres 2009 semestinya mengalami peningkatan mengingat banyaknya buruh migran Indonesia yang tidak terdaftar pada Pileg lalu.

"Penurunan jumlah DPT luar negeri untuk Pilpres 2009 menunjukkan kinerja KPU yang semakin buruk dan tidak berkualitas," ungkapnya.

Penetapan jumlah DPT ini setelah rapat pleno KPU guna membahas sinkronisasi data pemilih nasional. Hal ini sesuai Peraturan KPU nomor 45/2009 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pilpres 2009 untuk menetapkan DPT nasional tanggal 31 Mei 2009.

Anis mencontohkan, di Singapura, DPS untuk Pilpres justru mengalami peningkatan sebesar 9.538 pemilih. Belum lagi, banyaknya buruh migran yang proaktif mendaftar ke Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) negara setempat untuk tercatat sebagai pemilih dalam Pilpres 2009.

"Sehingga penurunan DPT luar negeri yang ditetapkan KPU justru dipertanyakan," pungkasnya.

( nov / iy )


Sumber: detikPemilu

http://pemilu.detiknews.com/read/2009/06/01/105906/1140493/700/jumlah-dpt-luar-negeri-turun-kinerja-kpu-dinilai-memburuk