Selasa, 09 Desember 2008

Buruh Migran Indonesia dan Pemilu 2004

Oleh Wahyu Susilo

HAJATAN nasional pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden tahun 2004 dianggap sebagai momentum penting yang tidak bisa diabaikan dalam fase transisi menuju demokrasi.

Pemilu kali ini berlangsung beberapa tahap, berbeda dengan sebelumnya. Perubahan ini merupakan tantangan bagi pelaksana pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Salah satu indikator suksesnya pemilu adalah jumlah pemilih. Sepanjang pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999, peserta pemilu selalu di atas 90 persen, namun hingga kini konsentrasi peserta pemilu lebih diutamakan pemilih dalam negeri. Keberadaan warga negara Indonesia di luar negeri hanya sebagai partisipan pelengkap dalam pemilu. Selama ini, perolehan suara pemilih di luar negeri disalurkan untuk daerah pemilihan Jakarta.

ADA beberapa hal yang harus dikritisi dalam pemilu Indonesia di luar negeri. Pertama, tidak pernah terjadi proses pendaftaran pemilih secara maksimal sehingga prosentase partisipasi pemilu di luar negeri amat kecil dari jumlah sebenarnya. Jumlah terbesar warga Indonesia yang ada di luar negeri adalah kaum buruh migran Indonesia, setelah itu mahasiswa dan diplomat serta keluarganya.

Data terakhir buruh migran Indonesia diperkirakan empat juta orang. Jumlah terbanyak ada di kawasan ASEAN (terbesar di Malaysia, disusul Singapura dan Brunai), Timur Tengah (terbesar di Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Jordan) dan Asia Timur (terbesar di Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang).

Kedua, pemilu tidak memperhitungkan keterwakilan dan aspirasi warga Indonesia di luar negeri. Dalam sistem pemilu yang lama, tidak pernah ada utusan golongan di MPR yang merepresentasikan sektor buruh migran, sementara wakil DPR yang mewakili daerah pemilihan Jakarta tak pernah punya sensitivitas mengenai masalah buruh migran. Dalam sistem pemilu yang baru, juga tidak ada perubahan signifikan mengenai keterwakilan politik warga negara Indonesia yang ada di luar negeri.

Realitas ini memperlihatkan betapa warga negara Indonesia yang ada di luar negeri (yang mayoritas adalah buruh migran Indonesia) termarjinalkan secara politik. Padahal bila kita lihat, kerentanan yang mereka miliki, misalnya kekerasan terhadap buruh migran atau represi yang dialami mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri, memerlukan artikulasi politik untuk kebijakan yang protektif bagi mereka.

Keluhan seorang anggota KPU, Valina Sinka Subekti, yang menyatakan KPU mengalami kesulitan mendaftar pemilih kaum buruh migran Indonesia, ini harus menjadi perhatian serius. Jika kesulitan ini tidak bisa dipecahkan, berarti pemilu untuk pemilih luar negeri dapat terancam gagal karena kaum buruh migran Indonesia merupakan mayoritas pemilih pemilu di luar negeri.

PEMILU, jika dianggap sebagai jalan untuk kesejahteraan rakyat, tentu penting memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia. Namun, selama ini tampaknya buruh migran hanya menjadi obyek pemilu. Semasa Orba, mereka dimobilisasi KBRI untuk memilih Golkar. Pada Pemilu 1999, isu buruh migran dieksploitasi sebagai bahan kampanye. Tak ada perubahan signifikan nasib buruh migran dari pemilu ke pemilu.

DPR, sebagai salah satu produk pemilu, sepanjang masa jabatannya (hampir lima tahun) gagal melakukan legislasi guna memproteksi buruh migran. Draf RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya yang ada di Badan Legislasi DPR sejak tahun 1998 belum diproses secara serius, hanya tersandera sebagai RUU Inisiatif DPR sejak tahun 2002, tidak dibahas dan difinalkan sebagai UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya yang selama ini dinantikan banyak pihak.

Jika kita menengok ke Filipina, kondisinya amat berbeda. Filipina selalu dirujuk sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki kebijakan komprehensip mengenai perlindungan buruh migran. Instrumen perlindungan buruh migran yang dimiliki adalah UU Perlindungan Buruh Migran dan UU Anti-Trafficking serta bilateral agreement dengan negara tujuan buruh migran. Kebijakan politik luar negeri yang mengutamakan kesejahteraan Filipino (orang Filipina yang bekerja di luar negeri) juga ditunjukkan dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota keluarganya .

Untuk pemilu, Filipina telah mengintroduksi regulasi yang menjamin hak-hak politik buruh migrannya dengan menetapkan Republic Act No 9189 (An Act Providing For a System of Overseas Absentee Voting by Qualified Citizens of the Philippines Abroad, Appropriating Funds Therefor, and for Other Purposes). Regulasi yang dikeluarkan pada 13 Februari 2003 ini untuk mengatur pelaksanaan pemilu Filipina bagi buruh migran Filipina yang ada di luar negeri. Pemilu yang dimaksudkan adalah Pemilu Mei 2004 yang akan memilih presiden, DPR, dan senator Filipina.

UU ini secara rinci mengatur tata cara pendaftaran pemilu di luar negeri dan kewajiban badan-badan pemerintah menjamin kelancaran keikutsertaan buruh migran Filipina (dan warga negara Filipina yang ada di luar negeri) dalam Pemilu Mei 2004. UU ini juga mengamanatkan, tahapan kampanye bisa diikuti kaum buruh migran Filipina. Partisipasi LSM dan serikat buruh dalam pendidikan dan sosialisasi pemilu dimungkinkan dalam UU ini.

Bagi kalangan aktivis buruh migran Filipina, kehadiran regulasi ini menjadi peluang untuk memperkuat bargain politik buruh migran Filipina terhadap pemerintahnya. Di beberapa negara yang menjadi tujuan buruh migran Filipina, telah terbangun partai sektoral buruh migran, yaitu Migrante-Sectoral Party. Partai ini merupakan transformasi dari organisasi buruh migran Filipina yang radikal dan memiliki basis di semua negara tujuan bekerja. Transformasi organisasi ini merupakan pilihan politik saat isu buruh migran hanya menjadi komoditas politisi tradisional.

Tampaknya apa yang dilakukan Filipina bisa menjadi cermin bagi penyelenggara pemilu di Indonesia agar tidak mengabaikan hak-hak politik buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri. Bagaimanapun, suara mereka harus diperhitungkan dan dihargai.

Kompas, Rabu, 25 Februari 2004

Tidak ada komentar: