Kamis, 18 Desember 2008

Pemilih Luar Negeri Perlu Pemilu Pendahuluan

Wednesday, 17 December 2008
JAKARTA(SINDO) – Pemilihan pendahuluan atau early voting dinilai perlu diwacanakan untuk mengakomodasi hak politik warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Langkah itu juga bisa untuk mengukur tingkat partisipasi pemilih di luar negeri. Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengatakan pemilihan pendahuluan dapat mendorong peningkatan partisipasi pemilih luar negeri." Pemilihan lebih awal dapat memberi kesempatan sebesar- besarnya pada pemilih menyalurkan hak mereka," katanya dalam diskusi "Mendorong Pemenuhan Hak Politik Buruh Migran dalam Pemilu 2009"di Jakarta kemarin. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, lanjut Hadar, tingkat partisipasi pemilih di luar negeri jauh hanya di bawah 50% dari 1,9 juta pemilih yang terdaftar.Partisipasi tersebut jauh di bawah partisipasi di dalam negeri yang mencapai lebih dari 80%. Pemilupendahuluan,lanjutHadar,jugabisamenghindarkan hilangnya hak pilih pekerja di luar negeri akibat persoalan teknis perlu ada model-model alternatif ."Perlu adanya model pemilihan alternatif mengatasi hambatan-hambatan teknis,"ujarnya.Dia memaparkan praktik pemilihan pendahuluan sudah diterapkan pada 43 negara di dunia. Selain pemilihan pendahuluan, kata Hadar, cara yang dapat ditempuh adalah dengan postal votingatau pemilihan melalui kantor pos dan proxy votingatau pemilihan yang diwakilkan kepada seseorang yang dipercaya. Di tempat yang sama,Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan pihaknya tidak membedakan perlakuan terhadap pemilih di dalam dan luar negeri.Kendati demikian, dia mengaku ada sejumlah kendala teknis yang dihadapi lembaganya dalam mendata pemilih di luar negeri.Di antaranya data penduduk yang diserahkan departemen luar negeri yang tidak akurat. Padahal, kata Hafiz,Komisi Pemilihan bukanlah lembaga sensus, tapi hanya pengguna data. "Kita mau ke luar negeri juga untuk melakukan sosialisasi kepada PPLN dipersoalkan karena dianggap menghambur-hamburkan uang negara,"katanya. Hafiz juga mengaku kesulitan dalam mengoordinasi petugas dan mendata pemilih di luar negeri.Di antaranya sulitnya memperoleh izin dari majikan warga negara Indonesia yang umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Terkait rendahnya partisipasi pemilih di luar negeri,Hafiz mengusulkan agar ke depan daerah pemilihan (dapil) luar negeri tidak ikut dalam dapil DKI Jakarta II,melainkan memiliki dapil sendiri. Hal tersebut menurut dia dapat membuat caleg yang terpilih lebih representatif dalam memperjuangkan hak-hak buruh migran yang terabaikan. Sementara itu,Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyatakan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di luar negeri sebesar 1,5 juta pemilih tidak tepat."Sangat mengherankan jika jumlah DPT luar negeri untuk Pemilu 2009 merosot dibandingkan Pemilu 2004," ujarnya. Padahal, lanjutnya, angka penempatan buruh migran ke luar negeri tiap tahun terus mengalami peningkatan.Anis memperkirakan jumlah warga negara Indonesia yang berada di luar negeri sebanyak 6,5 juta orang yang sebagian besar adalah buruh migran." Ini menandakan KPU tidak memperhatikan secara serius hak-hak pemilih Indonesia di luar negeri,"tandasnya. (pasti liberti)

Selasa, 09 Desember 2008

“Jangan Abaikan Hak Politik Buruh Migran Indonesia !!!”

Pada tanggal 25 November 2008, KPU secara resmi mengumumkan DPT (Daftar Pemilih Tetap) untuk Pemilihan Umum 2009 sejumlah 170.022239 pemilih. Dari jumlah tersebut , DPT di Indonesia sebesar 169.558.775 dan sisanya 1.509.892 adalah DPT di luar negeri. Jumlah final ini ternyata lebih sedikit dengan DPS (Daftar Pemilih Sementara) luar negeri yang berjumlah 1.608.575 pemilih.

Jumlah DPT luar negeri ini tidak mencerminkan jumlah warga negara Indonesia yang berada di luar negeri yang jumlahnya berkisar 6,5 juta orang dan sebagian besar diantara mereka adalah buruh migran Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 dengan jumlah DPT luar negeri 1,9 juta pemilih, maka partisipasi pemilih luar negeri pada Pemilu 2009 ternyata makin merosot. Ini tentu mengherankan padahal angka penempatan buruh migran ke luar negeri terus mengalami peningkatan. Semestinya jumlah DPT luar negeri untuk pemilu 2009 lebih besar dari jumlah DPT luar Negeri pada pemilu 2004.

Masih kecilnya jumlah DPT luar negeri untuk Pemilu 2009 memperlihatkan bahwa KPU tidak memperhatikan secara serius hak-hak pemilih Indonesia yang berada di luar negeri. Walaupun telah melakukan serangkaian perjalanan ke luar negeri yang menghabiskan dana milyaran rupiah, namun ternyata tidak membawa dampak yang signifikan.

Dari jumlah DPT di luar negeri yang diumumkan tersebut, KPU seharusnya perlu menjelaskan secara detail siapa saja yang termasuk DPT luar negeri. DPT di luar negeri sangat luas dan menyangkut banyak pihak, antara lain pelajar dan mahasiswa, diplomat dan anggota keluarganya, buruh migran, pekerja profesi dan lainnya. Dan dari jumlah tersebut perlu diperjelas berapa persen daftar pemilih tetap dari kalangan buruh migran Indonesia. Hingga saat ini KPU juga tidak menjelaskan jumlah rincian DPT pada masing-masing Negara. Ketidakakuratan KPU dalam proses pendaftaran pemilih di luar negeri mengakibatkan mayoritas buruh migran Indonesia tidak memperoleh hak politiknya.

Jumlah DPT di luar negeri yang telah diumumkan KPU tersebut, juga perlu dipertanyakan validasinya dari dua sisi, yakni metodologi penghitungan dan hasil akhir penghitungan. Metodologi penghitungan dan pendataan terhadap buruh migran di luar negeri perlu dipertanyakan karena menyangkut validitas DPT dari kalangan buruh migran, mengingat pemerintah Indonesia selama ini belum mempunyai system database dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri. Kalau kemudian ternyata pendataan KPU berbasis pada data pemerintah Indonesia sebagai referensi utama dan tanpa melalui proses pendataan di lapangan, maka validitas DPT buruh migran jelas dipertanyakan.

Selain itu, setiap Negara tujuan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tergantung pada sector mana buruh migran Indonesia bekerja. Negara-Negara tertentu seperti Singapura, Hongkong ,Taiwan ,Malaysia dan Negara-Negara di Timur tengah, di dominasi oleh perempuan yang mayoritas bekerja di sektor rumah tangga sebagai PRT migran. Sehingga diperlukan penjelasan dari KPU bagaimana selama ini mendata PRT migran di luar negeri, apakah mengandalkan PRT migran yang datang mendaftar ke KBRI atau ada upaya jemput bola ke rumah-rumah majikan. Termasuk untuk buruh migrant yang tidak berdokumen dan buruh migran yang sedang di penjara karena menghadapi masalah hukum di Negara tujuan yang diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan.

KPU juga terkesan mengabaikan calon TKI yang ada di penampungan –penampungan PJTKI di Indonesia yang sedang dalam proses pemberangkatan ke luar negeri, saat ini jumlah PJTKI yang legal mencapai 499. Semestinya mereka juga mempunyai hak politik yang sama untuk PEMILU 2009.

Atas dasar beberapa persoalan diatas, Migrant CARE menyerukan kepada KPU untuk:

1. Mendesak KPU agar segera mengumumkan jumlah resmi DPT di luar negeri dari kalangan buruh migran secara rinci berdasarkan Negara tujuan
2. Mendesak KPU untuk secara transparan menyampaikan metodologi pendataan buruh migran di luar negeri, terutama bagi PRT migrant, buruh migran yang tidak berdokumen dan buruh migran yang ada di penjara.
3. Mendesak KPU untuk tidak mengabaikan hak politik calon buruh migran Indonesia yang sedang berada di penampungan-penampungan PJTKI

Jakarta, 5 Desember 2008

Anis Hidayah
Direktur Eksekutif

Buruh Migran Indonesia dan Pemilu 2004

Oleh Wahyu Susilo

HAJATAN nasional pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden tahun 2004 dianggap sebagai momentum penting yang tidak bisa diabaikan dalam fase transisi menuju demokrasi.

Pemilu kali ini berlangsung beberapa tahap, berbeda dengan sebelumnya. Perubahan ini merupakan tantangan bagi pelaksana pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Salah satu indikator suksesnya pemilu adalah jumlah pemilih. Sepanjang pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999, peserta pemilu selalu di atas 90 persen, namun hingga kini konsentrasi peserta pemilu lebih diutamakan pemilih dalam negeri. Keberadaan warga negara Indonesia di luar negeri hanya sebagai partisipan pelengkap dalam pemilu. Selama ini, perolehan suara pemilih di luar negeri disalurkan untuk daerah pemilihan Jakarta.

ADA beberapa hal yang harus dikritisi dalam pemilu Indonesia di luar negeri. Pertama, tidak pernah terjadi proses pendaftaran pemilih secara maksimal sehingga prosentase partisipasi pemilu di luar negeri amat kecil dari jumlah sebenarnya. Jumlah terbesar warga Indonesia yang ada di luar negeri adalah kaum buruh migran Indonesia, setelah itu mahasiswa dan diplomat serta keluarganya.

Data terakhir buruh migran Indonesia diperkirakan empat juta orang. Jumlah terbanyak ada di kawasan ASEAN (terbesar di Malaysia, disusul Singapura dan Brunai), Timur Tengah (terbesar di Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Jordan) dan Asia Timur (terbesar di Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang).

Kedua, pemilu tidak memperhitungkan keterwakilan dan aspirasi warga Indonesia di luar negeri. Dalam sistem pemilu yang lama, tidak pernah ada utusan golongan di MPR yang merepresentasikan sektor buruh migran, sementara wakil DPR yang mewakili daerah pemilihan Jakarta tak pernah punya sensitivitas mengenai masalah buruh migran. Dalam sistem pemilu yang baru, juga tidak ada perubahan signifikan mengenai keterwakilan politik warga negara Indonesia yang ada di luar negeri.

Realitas ini memperlihatkan betapa warga negara Indonesia yang ada di luar negeri (yang mayoritas adalah buruh migran Indonesia) termarjinalkan secara politik. Padahal bila kita lihat, kerentanan yang mereka miliki, misalnya kekerasan terhadap buruh migran atau represi yang dialami mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri, memerlukan artikulasi politik untuk kebijakan yang protektif bagi mereka.

Keluhan seorang anggota KPU, Valina Sinka Subekti, yang menyatakan KPU mengalami kesulitan mendaftar pemilih kaum buruh migran Indonesia, ini harus menjadi perhatian serius. Jika kesulitan ini tidak bisa dipecahkan, berarti pemilu untuk pemilih luar negeri dapat terancam gagal karena kaum buruh migran Indonesia merupakan mayoritas pemilih pemilu di luar negeri.

PEMILU, jika dianggap sebagai jalan untuk kesejahteraan rakyat, tentu penting memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia. Namun, selama ini tampaknya buruh migran hanya menjadi obyek pemilu. Semasa Orba, mereka dimobilisasi KBRI untuk memilih Golkar. Pada Pemilu 1999, isu buruh migran dieksploitasi sebagai bahan kampanye. Tak ada perubahan signifikan nasib buruh migran dari pemilu ke pemilu.

DPR, sebagai salah satu produk pemilu, sepanjang masa jabatannya (hampir lima tahun) gagal melakukan legislasi guna memproteksi buruh migran. Draf RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya yang ada di Badan Legislasi DPR sejak tahun 1998 belum diproses secara serius, hanya tersandera sebagai RUU Inisiatif DPR sejak tahun 2002, tidak dibahas dan difinalkan sebagai UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya yang selama ini dinantikan banyak pihak.

Jika kita menengok ke Filipina, kondisinya amat berbeda. Filipina selalu dirujuk sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki kebijakan komprehensip mengenai perlindungan buruh migran. Instrumen perlindungan buruh migran yang dimiliki adalah UU Perlindungan Buruh Migran dan UU Anti-Trafficking serta bilateral agreement dengan negara tujuan buruh migran. Kebijakan politik luar negeri yang mengutamakan kesejahteraan Filipino (orang Filipina yang bekerja di luar negeri) juga ditunjukkan dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota keluarganya .

Untuk pemilu, Filipina telah mengintroduksi regulasi yang menjamin hak-hak politik buruh migrannya dengan menetapkan Republic Act No 9189 (An Act Providing For a System of Overseas Absentee Voting by Qualified Citizens of the Philippines Abroad, Appropriating Funds Therefor, and for Other Purposes). Regulasi yang dikeluarkan pada 13 Februari 2003 ini untuk mengatur pelaksanaan pemilu Filipina bagi buruh migran Filipina yang ada di luar negeri. Pemilu yang dimaksudkan adalah Pemilu Mei 2004 yang akan memilih presiden, DPR, dan senator Filipina.

UU ini secara rinci mengatur tata cara pendaftaran pemilu di luar negeri dan kewajiban badan-badan pemerintah menjamin kelancaran keikutsertaan buruh migran Filipina (dan warga negara Filipina yang ada di luar negeri) dalam Pemilu Mei 2004. UU ini juga mengamanatkan, tahapan kampanye bisa diikuti kaum buruh migran Filipina. Partisipasi LSM dan serikat buruh dalam pendidikan dan sosialisasi pemilu dimungkinkan dalam UU ini.

Bagi kalangan aktivis buruh migran Filipina, kehadiran regulasi ini menjadi peluang untuk memperkuat bargain politik buruh migran Filipina terhadap pemerintahnya. Di beberapa negara yang menjadi tujuan buruh migran Filipina, telah terbangun partai sektoral buruh migran, yaitu Migrante-Sectoral Party. Partai ini merupakan transformasi dari organisasi buruh migran Filipina yang radikal dan memiliki basis di semua negara tujuan bekerja. Transformasi organisasi ini merupakan pilihan politik saat isu buruh migran hanya menjadi komoditas politisi tradisional.

Tampaknya apa yang dilakukan Filipina bisa menjadi cermin bagi penyelenggara pemilu di Indonesia agar tidak mengabaikan hak-hak politik buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri. Bagaimanapun, suara mereka harus diperhitungkan dan dihargai.

Kompas, Rabu, 25 Februari 2004